Selasa, 06 September 2011

FATWA-FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Disertasi Muhammad Atha Mudzar)


Daftar Isi
BAB I


PENDAHULUAN


A.     RUMUSAN MASALAH PENELITIAN ………………………………………………………………………
B.     SUMBANGAN UNTUK KEILMUAN AGAMA ISLAM …………………………………………………
C.     METODE PENELITIAN …………………………………………………………………………………………
D.     TINJAUAN PUSTAKA  ………………………………………………………………………………………….
BAB II
ISLAM DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA  …………………………………………………………………
BAB III
MAJELIS ULAMA INDONESIA  …………………………………………………………………………………….
BAB IV
PENGUJIAN FATWA MUI …………………………………………………………………………………………….
BAB V
KESIMPULAN ……………………………………………………………………………………………………………..
BAB VI
SARAN ………………………………………………………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA  …………………………………………………………………………………………………..
3
4
4
4

5

9

11

15

16
16











BAB I
PENDAHULUAN
Dengan selesainya pembentukan keempat mazhab suni di abad ke-9 dan ke-10, syariat Islam lambat laun berhasil dibakukan dan dianggap sebagai hukum Ilahi yang tidak boleh diubah dan bersifat menyeluruh, yang tidak memerlukan perubahan dan tambahan-tambahan, sehingga hal ini mengurangi keberanian para Fuqaha untuk membentuk mazhab sendiri, bahkan ada di antara mereka yang hingga beranggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Baru pada abad ke-19 ada beberapa orang golongan pembaharu yang menganjurkan di bukakannya kembali pintu ijtihad.
Hal itu tidaklah berarti bahwa pemikiran hukum islam telah terhenti sama sekali, melainkan hanya laju perkembangannya saja yang agak terlambat. Pemikiran hukum Islam tetap dilaksanakan oleh paling sedikitnya dua golongan pembela syariat, yakni para Qodi dan para Mufti. Golongan para Qodi melakukan pemikiran Islam dengan jalan keputusan pengadilan sedangkan para Mufti melalui fatwa-fatwa. Hasil-hasil pemikiran hukum golongan pertama mengikat pihak-pihak yang bersangkutan, karena mereka berhadapan dengan badan peradilan, sedangkan hasil-hasil usaha golongan kedua bersifat nasihat.
Ibrahim An-Nakha’I (w. 96 H) disebut-sebut sebagai orang pertama yang telah memberikan fatwa-fatwa, pada abad ke-17, kumpulan fatwa yang paling tersohor adalah buatan India, yang dikenal dengan judul Fatawa ‘Alamqi-riyyah, buku himpunan fatwa ini mencakupi berbagai persoalan baik hukum perseorangan maupun hukum public.
Dalam dunia Islam kontemporer paling sedikit yang ada tiga jenis negeri yang menonjol dalam persoalan fatwa, yang pertama adalah negri yang menganggap syariat sebagai hokum dasar dan menerapkan dalam keseluruahannya. Negeri Arab Saudi adalah contoh penting, dimana praktik pemberian fatwa tidak hanya persoalan perseorangan tetapi sudah menyentuk aspek social ekonomi dan politik. Yang kedua adalah negeri yang menghapuskan syariat dan menggantikan keseluruhannya  dengan hukum sekuler, Turkii adalah contoh yang tepat untuk jenis ini. Yang ketiga adalah negri negri yang berusaha untuk mencapai kompromi antara kedua daerah hukum tersebut dengan menerima hukum sekuler dan memelihara syariat pada waktu bersamaan, yang tergolong jenis negri ini adalah negri Mesir, Irak, Tunisia, Siria, Indonesia dan lainnya. Indonesia termasuk kedalam jenis yang ketiga karena disamping menerima hukum sekuler yang di bawa oleh pemerintah Belanda tetapi masih pula mempertahankan hukum peradilan agama untuk Undang-Undang keluarga.
Tugas pemberian fatwa-fatwa itu di Indonesia dilakukan sepenuhnya oleh para ulama, pada abad ke-20, fatwa-fatwa di Indonesia diberikan secara perorangan. Pada kuartal kedua abad ke-20, beberapa fatwa telah diberikan para ulama secara kelompok. Pada tahun 1926 para ulama tradisional telah mendiikan perkumpulan ulama Nahdatul Ulama dan mulai mememberikan fatwa-fatwa yang di bukukan dengan judul Ahkam Al-Fuqaha.. Muhammadiyah yang berpendirian modern yang didirikan tahun 1912 dari waktu ke waktu mulai mengadakan rapat dan menetapkan soal-soal keagamaan yang dihimpun dalam Himpunan putusan majelis Tarjih Muhammadiyah. Soal yang dibahas kebanyakan mengenai upacara keagamaan, meskipun masih dijumpai fatwa perseorangan dari ulama tertentu, seperti Ahmad Hasan dan Ahmad Surkati, namun makin banyak ulama yang cenderung menggabungkan diri.
Perkembangan baru muncul sewaktu pada tahun 1975 di bentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), baik ulama tradisional dan golongan modern mempunyai wakil-wakilnya di MUI dan melalui badan itu memberikan fatwa bersama.
A.      RUMUSAN MASALAH PENELITIAN
Studi ini berupaya untuk menentukan :
1.       Sifat fatwa-fatwa MUI dari segi metode perumusannya
2.       Keadaan sosio politis di sekeliling MUI
3.       Reaksi masyarakat terhadap fatwa-fatwa MUI



B.   SUMBANGAN UNTUK PENGEMBANGAN KEILMUAN AGAMA ISLAM
Dari segi Teori :
     Untuk memberikan gambaran yang lengkap dan tepat sifat fatwa-fatwa, dalam kaitannya dengan isi maupun cara kerjanya.
1.    Untuk menambah pengetahuan tentang Fiqih (Hukum Islam)
2.    Untuk menambah pengetahuan tentang Ushul Fiqih (teori Hukum Islam)
Dari segi Praktek :
1.    Studi ini bertujuan untuk meneliti bagaimana para ulama Indonesia berdaya upaya dalam menghadapi tantangan-tantangan kehidupan modern dengan menggunakan fatwa-fatwa.
2.    Studi tentang Islam di Indonesia masih sangat langka jika di bandingkan dengan studi yang ada mengenai islam di negri Timur Tengah.
C.   METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi yang di lakukan oleh M. Atha Mudzar dalam studi ini adalah :
1.    Survey literature
2.    Wawancara
3.    Pengumpulan data
4.     Media penelitian
5.    Liberary research
D.   TINJAUAN PUSTAKA
Untuk Indonesia, menurut M. Atha Mudzar Studi tentang fatwa semacam ini adalah usaha perintis, sejumlah kecil studi yang telah dilakukan tentang hukum islam di Indonesia adalah mengenai materi undang-undang keluarga atau tentang lembaga pengadilan Islam, dan banyak lagi penelitian tetapi di antara studi studi ini tidak ada yang memperhatikan fatwa-fatwa ulama Indonesia.
Di Negara Islam lainnya juga jarang ada studi yang khusus mendalami pengetahuan tentang fatwa-fatwa. Studi yang paling dini adalah oleh Bellin yang di terbitkan tahun 1851 dan membicarakan fatwa zimmi-zimmi di negeri Islam. Studi lainnya dilakukan oleh Heyd yang mengemukakan bahwa Turki Usmani dari kalangan atas telah cenderung menggunakan fatwa-fatwa untuk menunjang modernisasi pemerintah adalah contoh penting. Studi terbaru dilakukan oleh Layish, yang mengamati bahwa fatwa di Arab Saudi dipergunakan untuk mengesahkan tindakan pemerintah dan mengurangi gerakan radikal. Studi lainnya yang patut di kemukakan oleh Messick yang mempelajari fatwa-fatwa para ulama dari Yaman dengan menerapkan penafsiran antropologis, khususnya pendekatan tafsir (Heurmeneutik).
Dengan melakukan surver literature serta penelitian kepustakaan lainnya M. Atha  Mudzar mengangap bahwa penelitian yang sudah dilakukan baik oleh peneliti barat dan Indonesia sendiri belum ada kajian yang mengkhususkan tentang fatwa –fatwa ulama Indonesia terutama mengenai cara kerja serta materi dari fatwa itu sendiri,  sehingga M. Atha Mudhar menganggap dirinya sebagai perintis dari kajian penelitian tentang fatwa Ulama Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PENULIS
ISLAM DAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Kaum muslimin merupakan bagian tersebar penduduk Indonesia, dalam sensus penduduk tahun 1980, kaum muslimin berjumlah lebih dari 128 juta (88,2%) dari 145 juta jiwa jumlah seluruh penduduk. Sisanya (lebih kurang17 juta, atau 11,8 %) terbagi di antara empat agama lainnya, dengan 5,8% protestan, 3 % katolik, 2,1 % hindu dan 0,9 % Budha. Tabel 1 menunjukan bahwa sejak tahun 1971 pembagian jumlah penduduk menurut jenis agama yang di anut relative tetap. Tambahan-tambahan kecil tampak jelas pada hamper setiap jenis agama, barangkali berkenaan dengan pertambahan kelahiran dan berkurangnya jumlah penganut animisme (tak beragama).

Tabel 1
Penduduk Indonesia menurut kelompok agama dalam sensus penduduk tahun 1971 dan 1980
AGAMA
TAHUN
PERSENTASE
1971
1980
1971
1980
Islam
103,579
128,462
87,5
88,2
Protestan
8,742
8,506
7,4
5,8
Katolik

4,356


Hindu
2,296
2,988
1,9
2,1
Budha
2,064
1,392
1,7
0,9
Lain-lain
1,686
-
1,4
-
Jumlah
118,367
145,704
100,00
100,00

Sesungguhnya, angka-angka statistic sederhana itu menurut M. Atha Mudzar tidak memberi penjelasan banyak. Untuk menggambarkan keanekaragaman agama Islam dan kaum muslimin Indonesia, orang harus meneliti paling sedikit dari empat segi yaitu : Sejarah Budaya, Doktrin Teologi, Susunan Sosial, dan Ideologi Politik.
A.      Sejarah Budaya
Pertanyaan ! Bagaimana masuknya Agama Islam ke kepulauan Indonesia ditinjau dari sejarah Budaya?
*      Hubungan dagang telah memainkan peran penting; pedagang Arab, Persia dan India adalah penghubung yang menentukan, akan tetapi sumbangan mereka terbatas hanya pada masuknya Islam ke wilayah tersebut.
*      Penyebaran agama Islam sebenarnya adalah berkat usaha yang tidak kenal lelah oleh para peyiar sufi dari India, khususnya dari Benggali.
*      Sifat mistik Islam adalah factor terpenting dari cepatnya penganutan penduduk Islam. (Johns, “Sufism as a Category In Indonesian Literature and History, juli, 1961).
Di samping sifat kebersamaan agama Islam yang telah menarik kaum pribumi Indonesa yang telah dipengaruhi kebiasaan Hindu, sifat mistik agama Islam itulah yang telah membantu penyebaran agama Islam di Indonesia. Mistik Islam telah bersedia menampung kebiasaan-kebiasaan dan peradatan lama, yang mengakibatkan di pertahankannya peradatan dan kebiasaan agama hindu dan timbulnya Islam secara Sinkretis. Dengan demikian, Islam di Indonesia telah disesuaikan sedemikian rupa untuk mempertahankan sistim kebudayaan yang ada; hal ini telah dimungkinkan oleh kedatangan ”Jubah” aliran sufi India di kepulauan Indonesia. Tatkala gerakan-gerakan Islam normative timbul secara besar-besaran pada abad ke-19 dan 20, kaum muslimin yang masih mempertahankan sisa kebudayaan hindu kemudian berubah menjadi golongan abangan dalam masyarakat Islam, sebagai tandingan kaum santri. Dengan adanya golongan yang ketiga, kaum priyayi, maka menurut pengamatan Geertz ketiga golongan muslimin itu kemudian telah berpisah dan bahkan bertentangan satu sama lain dalam pandangan terhadap social politik dan ideologi Indonesia yang merdeka.
B.  Doktrin Teologi
Berasaran doktrin keagamaan kaum muslimin Indonesia tergolong sebagai penganut teologi Asy’ari dan hukum Islam Mazhab syafi’I, tetapi pada awal abad ke-19 terjadi gerakan skipturalis Islam yang semakin kuat, artinya banyak para ilmuan dan orang Indonesia yang menuntut ilmu ke negri Arab sehingga terjadi hubungan yang erat antara Arab dan Indonesia, banyak orang Indonesia yang pergi haji kemudian mereka tinggal untuk belajar di mekah sehingga terjadilah skipturalis dalam Islam.
Seorang ilmuan yang penting pada waktu itu adalah Ahmad Khatib yang lahir di bukit Tinggi pada tahun 1855 pada mulanya pergi naik haji ke Mekah pada tahun 1876 kemudian belajar dan tinggal di sana selama hidupnya, Ia telah mencapai tingkat tertinggi dalam hidupnya dengan menjadi Imam besar di Mekah dan pengaruhnya hingga abad ke- 20, banyak sekali muridnya salah satunya adalah Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari yang sekembalinya di jawa  masing-masing telah mendirikan Muhammadiyah yang berhaluan modern dan Nahdatul ulama yang berhaluan tradisional.
Dari pembicaraan di atas menurut M. Atha Mudzar jelas bahwa pada tingkat doktrin teologi islam di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan dalam kaitannya dengan skipturalisme dan pembaruan, ini di awali dengan sinkritisme pengaruh Hindu atau mistik India dan lambat laun bergeser ke “skipturalisme” sewaktu terjalin hubungan lebih erat dengan dunia Arab, dengan meresapnya kebudayaan barat yang di bawa oleh Belanda, Islam di Indonesia kemudian terbagi menjadi golongan pembaharu dan konservatif.
C.  STRUKTUR SOSIAL
Pada tingkat struktur social umumnya dapat dikatakan bahwa kaum muslimin Indonesia tidak mengenal susunan social yang ketat terutama yang berkaitan dengan soal kepemimpinan keagamaan, karena kenyataan kebanyakan mereka penganut kaum Suni yang berbeda dengan kaum Syiah.
D.  POLITIK IDEOLOGI
Menurut M. Atha Mudzar gambaran kaum muslimin di lhat dari segi politik ideologis adalah rumit, lebih rumit dari pada yang dipaparkan statitik. Lagi pula dalam banyak bidang, selain dari politik, Islam memberi banyak harapan. Wajib belajar agama yang dalam prakteknya berarti peraturan-peraturan wajib dari tingkat pertama sampai ketiga, pentingnya arti para ulama dan jaringan madrasah mereka, makin kuatnya daya hidup golongan pembaruan Islam dan gerakan modernis, dan makin bertambahnya jumlah organisasi dakwah Islam, semua membantah apa yang agaknya dinyatakan system politik yang biasa.
Masalah-masalah Hukum Islam di Indonesia
Untuk memberi gambaran tentang masalah-masalah hukum Islam di Indonesia kita harus memperhatikan sedikitnya pada tiga masa penting yaitu : 1) Masa sebelum penjajahan, 2) Masa Penjajahan, 3) Masa Kemerdekaan, setiap masa memiliki ciri-ciri tersendiri yang dapat menunjukan perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia.
Kesimpulan dari ketiga masa ini adalah :
1)  Masa sebelum penjajahan
Dalam hukum Jawa pada abad 16 menurut Hoocker bahwa pengaruh hukum islam bersifat samar-samar, karena islam dianggap hanya sebagian dari hukum adat pribumi, kebudayaan jawa yang di pengaruhi agama hindu terlalu kuat untuk menerima unsure hukum islam, permasalahan/ perkara lebih banyak di selesaikan oleh hukum adat daripada oleh hukum Islam.

2)  Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan, pertanda perhatian terhadap hukum Islam mulai nampak pada abad ke sembilan belas, sewaktu kekuasaan penjajah (belanda-Inggris) mulai menangani daerah jajahan mereka di Indonesia, Penyebutan pertama kali tentang adanya semacam pengadilan islam dilakukan oleh Persatuan Kompeni Belanda di Hindia Timur pada tahun 1808 dalam sepucuk surat perintah, yang menyatakan bahwa para penghulu islam harus di biarkan mengurus perkara perkawinan dan warisan.
3)    Masa Kemerdekaan : Rancangan hukum Islam sudah mulai jelas.
BAB III
MAJELIS ULAMA INDONESIA
A.       Pembentukan MUI
Ada tiga peristiwa politik penting yang melatar belakangi sebelum terbentuknya MUI yaitu:
1.    Pemilihan umum tahun1971
2.    Lahirnya Golkar yang bersifat sekuler
3.    Kemunduran peranan partai-partai politik Islam
B.       Kedudukan MUI dalam masyarakat
Kedudukan MUI dengan masyarakat dan hubungannya dengan pemerintah maupun organisasi islam adalah sangat rumit sifatnya, keterangan sederhana untuk menjelaskan sifat hubungan tersebut kiranya tidak akan mencukupi, akan tetapi sejumlah pendirian pokok yang agaknya merupakan ciri dari peranan MUI selama keberadaannya dapat di temukan, yaitu :
1.    MUI senantiasa berkeinginan agar diterima baik oleh masyarakat Islam dan organisasi Islam
2.    MUI selalu memelihara hubungan baik dengan pemerintah
3.    Demi menjaga aqidah kaum musimin, MUI senantiasa bersikap waspada terhadap ancaman kristenisasi.
C.  CARA KERJA PEMBUATAN FATWA-FATWA
1.    Sifat dan cara pembuatannya adalah menurut garis-garis agama, tetapi peranan yang dilakukan dalam pengambilan fatwa bersifat sekuler
2.    Penyusunan dan pengeluaran fatwa di lakukan oleh komisi fatwa MUI
3.    Persidangan komisi fatwa di adakan menurut keperluan atau bila MUI telah di minta pendapatnya oleh umum atau oleh pemerintah mengenai persoalan dalam hukum Islam
4.    Untuk mengeluarkan satu fatwa biasanya diperlukan satu kali siding, tetapi ada kalanya sampai enam kali siding
5.    Satu kali sidang dapat menghasilan beberapa kali fatwa, contoh: masalah Vasektomi, tubektomi, dan sumbangan kornea mata.
6.    Fatwa bersifat pernyataan yang di sampaikan oleh komisi fatwa atau langsung oleh MUI
7.    Bentuk lahiriah fatwa selalu sama, dimulai dengan keterangan bahwa komisi telah mengadakan sidang pada tanggal tertentu, kemudian dilanjutkan dengan dalil-dalil, yang digunakan sebagai dasar fatwa.
8.    Dalil dalil yang dikeluarkan berbeda tingkat kedalamannya tergantung masing-masing fatwa, kebanyakan fatwa di mulai dengan Ayat Al-Qur’an disertai hadis yang bersangkutan serta kutipan naskah fiqih dalam bahasa arab, dalil rasional juga diberikan sebagai keterangan pendukung, baru setelah itu fatwa di keluarkan
9.    Beberapa kali MUI mengeluarkan fatwa tanpa di sertai dalil dan argument rasional melainkan langsung pernyataan fatwa
10. Pada bagian kahir selalu ada tiga hal yang di cantumkan yaitu tanggal di adakan fatwa, nama-nama ketua dan komisi fatwa serta nama-nama yang mengikuti sidang dan terakhir tanda tangan.
BAB IV
PENGUJIAN FATWA-FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA

A.        Fatwa tentang Ibadah
Persoalan : Keabsahan salat jum’at yang dilakukan dua kali dalam seminggu oleh musafir di atas kapal yang sedang berlayar.
Fatwa MUI : Pada tgl 10 Februari 1976 mengeluarkan sebuah fatwa bahwa apabila suatu perjalanan memberikan pengalaman dua hari jum’at dalam seminggu, kewajibannya untuk melakukan sembahyang jum’at bersama hanya pada hari jum’at pertama.
Metodologi yang digunakan:
1.    Qiyas (analogi)
2.    Talfiq ( Mengikuti aturan suatu mazhab lain dari yang biasanya di anut)

B.        Fatwa tentang pernikahan dan Keluarga
Persoalan : Perkawinan antar agama, pengangkatan anak, penjualan tanah warisan
Fatwa MUI : Pada tanggal 1 Juni 1980
1.    Seorang wanita Islam tidak di bolehkan (haram) untuk di nikahkan dengan seorang lelaki non muslim
2.    Pria muslim tidak di izinkan menikahi seorang wanita bukan islam
Metodologi yang di gunakan :
1.    Dalil Al-Qur’an dan Hadis
2.    Tidak menggunakan nash Klasik
Yang menarik Fatwa ini ialah meskippun Al-qur’an membolehkan seorang laki laki muslim menikahi wanita ahl kitab, namun fatwa MUI tidak membolehkannya, alasannya karna MUII memandang banyak mafsadatnya daripada keuntungannya, fatwa ini bertentangan dengan fatwa MUI lainnya yang biasanya merujuk pada fiqih klasik , factor lainnya MUII mengeluarkan fatwa ini adalah alasan hubungan masa lampau antara islam Kristen (politik).
C.        Fatwa tentang Kebudayaan
Persoalan : Film The Message (wahyu),  dan  Adam dan Eve,
Fatwa MUI : 23 maret mengeluarkan fatwa bahwa penggambaran nabi Muhammad dalam bentuk apapun termasuk film adalah haram.
Metodologi yang di gunakan :
1.    Fatwa tidak merujuk pada Al-Qur’an, hadis, mauppun nash fiqih klasik
2.    Tidak berisi dalil yang rasional
3.    Hukum Penggambaran nabi Muhammad di anggap sudah diketahui umum, sehingga tidak menyampaikan dalil akan tetapi dalil itu ada dalam catatan rapat.
D.        Fatwa tentang makanan
Persoalan : Penyembelihan hewan dengan mesin, makan daging kelinci, makan daging kodok
Fatwa MUI : tanggal 18 oktober 1976 mengeluarkan fatwa bahwa daging hewan yang disembelih dengan mesin itu halal untuk di makan.
Metodologi yang digunakan :
1.    Survey literature
2.    Studi pustaka
3.    Politik ideologis.
4.    Wawancara
E.        Fatwa tentang kehadiran orang islam pada saat natalan
Fatwa MUI : pada tanggal 7 maret 1981 MUI mengeluarkan fatwa bahwa hukum kehadiran orang islam pada perayaan Natal adalah haram
Metodologi yang digunakan :
1.    Studi pustaka (Qur’an Hadis)
2.    Dalil akal
3.    Doktrin Teologi
Fatwa ini adalah fatwa yang paling kuat dalilnya dari Al-Qur’an yang pernah di susun MUII dan MUI pada persoalan ini bersifat radikal dan berani bertentangan dengan pihak pemerintah yang sedang menyusun program kerukunan antar umat beragama, bahkan dengan di keluarkan fatwa ini mengakibatkan 6 bulan kemudian ketua MUI (HAMKA) mundur dari jabatannya.
Kendatipun ada sikap menentang dari pihak pemerintah, MUI tetap berpegang teguh pada pendiriannya tentang fatwa itu, ini adalah satu-satunya kejadian MUI secara teguh mengambil resiko untuk melawan kebijakan pemerintah.
F.        Fatwa-fatwa tentang Masalah Kedokteran
Persoalan : Sumbangan kornea mata, pencangkokan jantung.
Fatwa MUI : Pada tanggal 13 Juni 1979 MUI mengeluarkan fatwa yang berbunyi bahwa wasiat orang Islam untuk menyumbangkan kornea mata sesudah ia meninggal adalah halal sepanjang hal itu di sepakati dan di saksikan oleh keluarga dekatnya. Selanjutnya fatwa itu menyatakan bahwa pengoprasikan kornea harus dilakukan ahli bedah yang berwenang.
Metodologi yang di gunakan :
1.    Dalil Rasional
2.    Hadis dan dua naskah Fiqih
3.    Tidak ada dalil al-Qur’an
G.        Fatwa tentang Keluarga berencana
Persoalan : Keluarga Berencana
Fatwa MUI : Pada tanggal 17 -20 oktober 1983 Muktamar MUI menyatakan bahwa Islam membenarkan pelaksanaan KB ang ditujukan demi kesehatan Ibu dan anak, dan demi kepentingan pendidikan anak pelaksanaannya harus dilakukan atas dasar sukarela, dan menggunakan alat kontrasepsi yang tidak dilarang oleh Islam.
Metodologi yang digunakan :
1.            Wawancara
2.            Literature Research
3.            Dalil AL-Qur’an  dan Hadis
H.        Fatwa tentang Golongan kecil Islam
Persoalan : Syi’ah, Ahmadiyah, Inkar As-sunnah
Fatwa MUI : Pada tanggal 8 maret  1984 MUI menyatakan bahwa karena perbedaan principal antara ajaran (doktrin) Syi’ah dan ajaran ahl sunnah wal-jamaah yang diikuti umat islam Indonesia, maka umat islam Indonesia disarankan agar menjaga diri jangan sampai terpegaruh oleh ajaran syi’ah terutama ajaran imamah.
Metodologi yang digunakan :
1.    Studi pustaka
2.    Sosio politik
BAB V
KESIMPULAN

Dari penelitian melalui studi ini telah berusaha mempelajari sifat fatwa-fatwa MUI dari dua tingkat analisis, perumusannya secara metodologi dan lingkungan sosio politik dan kebudayaan yang mengitarinya, dari pembicaraan terdahulu jelaslah bahwa sifat-sifat itu berbeda satu sama lainnya dalam tingkat dan analisinya, bahkan fatwa fatwa yang termasuk dalam suatu kategori tertentu bisa saja menunjukan sifat  yang berbeda. M. Atha Mudzar menyimpulkan sebagai berikut:
1.    Hubungan perumusan secara metodologi fatwa- fatwa yang di nyatakan MUI tidak mengikuti suatu pola tertentu.
2.    Beberapa Fatwa berawal dengan tanpa mencantumkan dalil-dalil Al-Qur’an, hadis atau menunjuk pada naskah-naskah fiqih
3.    Analogi terhadap suatu masalah terkadang tanpa mempelajari terlebih dahulu Ayat Al-Qur’an dan hadis
4.    Ada beberapa fatwa yang sama sekali tanpa menggunakan dalil al-qur’an ataupun dalil rasional akan  tetapi langsung menyatakan isi fatwa
Menurut M. Atha Mudzar berdasarkan ketentuan di atas tidak berarti MUI tidak mempunyai metodologi yang dipakai, secara teori MUI percaya bahwa suatu fatwa hanya dapat dikeluarkan sesudah MUI secara mendalam mempelajari keempat sumber hukum Islam, sumber hukum itu adalah Al-qur’an, Hadis, Ijma dan Qiyas, demikian urutan tingkat wewenangnya menurut mazhab Syafi’I. Tetapi dalam praktek, prosedur metodologis semacam itu tidak selalu dipergunakan.
Di samping soal teknis metodologi, juga terbukti bahwa perumusan fatwa MUI senantiasa terikat oleh beberapa factor yang bersifat politik, beberapa fatwa hanya terikat satu factor tetapi adakalanya terikat pada beberapa factor, sehingga sering mempersukar penentuan factor mana yang paling berpengaruh.
Ada beberapa Faktor yang dianggap Atha Mudzar paling mempengaruhi keputusan MUII dalam mengeluarkan fatwa yaitu:
Pertama : factor pertama yang harus diketahui rupanya berkaitan dengan kecenderungan untuk membantu kebijakan pemerintah, fatwa tentang peternakan kodok, daging kelinci, pemotongan hewan dengan mesin dan KB menunjukan sifat dukungan itu terhadap kebijakan pemerintah.
Kedua : Ada keinginan untuk menghadapi dan menjawab tantangan zaman modern contoh : sumbangan kornea mata, pencangkokan jantung adalag fatwa fatwa yang mencoba menanggapi perkembangan modern dunia kedokteran.
Ketiga : Berkaitan dengan hubungan antar agama, terbukti bahwa perumusan beberapa fatwa telah dipengaruhi oleh persaingan sejak lama dan saling tidak percaya antara umat islam dan kaum Kristen di negri ini. Persaingan itu demikian kuatnya hingga MUI bersedia bertentangan dengan pemerintah, Hamka, Ketua MUI waktu itu hrus menanggalkan kedudukannya selaku ketua demi tegaknya fatwa itu. Contoh fatwa tentang perkawinan dan keluarga.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa fatwa-fatwa MUI adalah hasil dari seperangkat keadaan social budaya dan social politik, yang kebijakan pemerintah merupakan bagian di dalamnya.
BAB VI
SARAN
Seharusnya MUI mempergunakan wewenang pembuatan fatwa untuk menghasilkan lebih banyak fatwa mengenai berbagai macam persoalan dan memperkuat dalil-dalilnya dengan cara yang konsekuen menurut prinsip metodologi yang di anut.
DAFTAR PUSTAKA
Mudzar, M Atha. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta : INIS, 1993.
FATWA-FATWA  MAJELIS ULAMA INDONESIA
Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988
(Disertasi Muhammad Atha Mudzar)

Makalah Penelitian
Diajukan pada Mata kuliah Pedekatan dalam Pengkajian Islam
Dosen Pembimbing  : Dr. H.Irfan Safrudin, M.Ag.


Disusun Oleh:
ANITA RAMDHANI





PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2010/2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

semoga bermanfaat.......