Selasa, 06 September 2011

MUHAMMAD NATSIR DALAM SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM

A.   Pendahuluan
Sejarah Bangsa Indonesia mencatat seorang tokoh bernama Mohammad Natsir, secara unik. Dia adalah perdana menteri, tokoh politik, tokoh pergerakan, tokoh Islam, sekaligus tokoh pendidikan.
           Menurut Endang Saefuddin Anshari, M. Natsir adalah seorang Dzu Wujuh, mempunyai banyak wajah dalam arti yang baik. Ia adalah seorang guru bangsa, pendidik ummat dan mujahid da’wah, ia adalah seorang budayawan atau pemikir budaya, ia adalah seorang ‘alim dengan segala atribut yang lekat dengan gelar itu, ia adalah seorang politikus terdepan, ia adalah seorang negarawan terkemuka, dan last but not least ia adalah seorang tokoh internasional yang dihormati.
          M. Natsir berpendapat, Islam bukanlah semata-mata suatu agama, tapi adalah suatu pandangan hidup yang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Pandangan di atas dibuktikan oleh berbagai macam tulisan dalam berbagai bahasa yaitu Indonesia, Inggris, Arab maupun Belanda baik mengenai kebudayaan, filsafat, pendidikan, agama, ketatanegaraan dan sebagainya. Dengan wawasan politik dan agama yang luas, mengantarkan Natsir untuk memimpin sidang Muktamar Alam Islami di Damaskus pada tahun 1957, bersama syekh Maulana Abul A’ la al-Maududi (Lahore) dan Hasan al-Nadawi (Lucknow). Atas jasa-jasanya dalam memimpin organisasi, maka pada tahun 1980 Kerajaan Arab Saudi memberikan penghargaan “Faisal Award” sebagai penghormatan atas jasa dan pengabdianya pada Islam. Begitu luas wawasan dan pandangannya, oleh sebab itu, dalam makalah ini penulis membatasi sekitar pemikiran M. Natsir tentang pendidikan, terutama pendidikan Islam.
Pemikiran politik, pemikiran keagamaan, dan tidak lupa tentang biografinya untuk menjawab pertanyaan tersebut, dalam makalah ini secara sederhana akan penulis paparkan.

B.   Pembahasan

1.      Biografi Mohammad Natsir
Muhammad Natsir lahir pada hari jumat tanggal 17 Juli 1908 di kampung Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok Sumatera Barat. Kedua orang tuanya berasal dari Maninjau. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai pemerintah dan pernah menjadi Asisten Demang di Bonjol dan ibunya Khadijah. Natsir adalah anak ketiga dari empat bersaudara, sedangkan kakeknya seorang ulama. Natsir merupakan pemangku adat untuk kaumnya yang berasal dari Maninjau, Tanjung Raya, Agam dengan gelar Datuk Sinaro Panjang. Ia dibesarkan di keluarga agamis. Lingkungan seperti ini sangat berpengaruh pada pertumbuhan sang putra.
Riwayat Pendidikan
Riwayat pendidikan M. Natsir dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) di Maninjau Sumatera Barat hingga kelas dua. Setelah itu pindah ke Holland Inlandse School (HIS) Adabiyah Padang Panjang. Natsir melewati masa kehidupannya dengan penuh perjuangan berat. Sejak kecil ia memasak, mencari kayu bakar, menimba air, mencuci pakaian, menyapu halaman, dan lain-lain. Di usia sangat muda, Natsir berpisah dengan orang tuanya dan menempuh hidup sebagai orang dewasa, Mulailah ia tidur di surau bersama-sama kawan-kawannya sesama laki-laki. Hanya pada waktu siang dan saat tertentu saja, Natsir berada di rumah.
Setelah lulus dari HIS, Natsir diterima beasiswa di MULO (Meer Uitgebreid Lager Orderwijs). Di MULO tersebut ia mulai aktif berorganisasi dengan masuk dalam Jong Sumatranen Bond yang diketuai Sanusi Pane. Selanjutnya bergabung dalam Jong Islamieten Bond. Menurut Natsir, organisasi merupakan pelengkap selain yang didapatkannya di sekolah dan memiliki andil yang cukup besar dalam kehidupan bangsa. Dari kegiatan berbagai organisasi inilah mulai tumbuh bibit sebagai pemimpin bangsa pada Muhammad Natsir.
Dalam dunia akademik, Natsir memperoleh doctor honoris causa dari Universitas Islam Libanon tahun 1967 di bidang sastra. Gelar yang sama diperoleh juga tahun 1991 dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Saint Teknologi Malaysia dalam bidang pemikiran Islam.
Perjuangan Muhammad Natsir
Ketika Belanda hendak menjadikan Indonesia negera serikat, Muhammad Natsir menentangnya dan mengajukan pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia. Usulan ini disetujui 90% anggota Masyumi. Tahun 1950, ia diminta membentuk kabinet sekaligus menjadi perdana Menterinya. Tapi belum genap setahun ia dipecat karena bersebrangan dengan presiden Soekarno. Ia tetap memimpin Masyumi dan menjadi anggota parlemen hingga tahun 1957. Pidatonya yang berjudul “Pilihlah salah satu dari dua jalan, Islam atau Atheis.” yang disampaikan di parlemen Indonesia dan dipublikasikan majalah “Al Muslimin”, punya pengaruh besar pada anggota parlemen dan masyaakat muslim Indonesia.
Saat menerjuni bidang politik, Muhammad Natsir adalah seorang politikus piawai. Saat menerjuni medan perang, ia menjadi panglima yang gagah berani, dan saat berdebat dengan musuh, ia tampil sebagai pakar ilmu dan dakwah. Muhammad Natsir menentang serangan membabi buta yang dilancarkan para misionaris Kristen, antek-antek penjajah dan para kaki tangan Barat maupun Timur, dengan menerbitkan majalah Pembela Islam. Ia juga menyerukan Islam sebagai titik tolak kemerdekaan dan kedaulatan, pada saat Soekarno dan antek-anteknya menyerukan nasionalisme Indonesia sebagai titik tolak kemerdekaan. Saat itu
Soekarno bersekutu dengan Komunis yang terhimpun dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk melawan Muhammad Natsir dan Partai Masyumi. Pertarungan ini berlangsung hingga tahun 1961, Soekarno membubarkan Partai Masyumi dan menahan pemimpinnya, terutama Muhmmad Natsir.Namun perlawan kaum muslimin Indonesia tidak padam, terus berlanjut hingga terjadi revolusi militer yang berhasil menggulingkan Soekarno pada tahun 1965.
Manhaj Dakwah Muhammad Natsir
Keluar dari penjara, Muhammad Natsir dan rekan-rekannya mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia yang memusatkan aktivitasnya untuk membina masyarakat, mengerahkan para pemuda, dan menyiapkan dai. Kemudian cabang-cabang DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) terbentuk di seluruh Indonesia, dan generasi muda dapat mengenyam fikrah Islam yang benar, memberi pengarahan kepada masyarakat, mendirikan pusat-pusat kegiatan Islam (Islamic Center) dan masjid, menyebarkan buku-buku Islam, membentuk ikatan-ikatan pelajar Islam, serta mendirikan beberapa asosiasi profesional: para insinyur, petani, pekerja dan lain-lain. Ia juga menjalin hubungan dengan gerakan-geraka Islam Internasional, untuk saling tukar pengalaman dan saling mengokohkan persatuan. tahun 1967, Muhammad Natsir dipilih menjadi Wakil Ketua Muktmaar Islam Internasiomal di Pakistan.


Karya-Karya Muhammad Natsir
Banyak karya tulis yang ditinggalkan oleh Muhammad Natsir, baik yang terkait dengan dakwah atau pemikiran. Sebagian telah diterbitkan dalam bahasa Arab dengan jumlah lebih dari 35 buah buku, diantaranya adalah Fiqhud Da’wah (Fikih Dakwah) dan Ikhtaru Ahadas Sabilain (Pilih salah satu dari dua jalan). Disamping itu masih banyak ceramah, riset, makalah Muhammad Natsir yang tersebar dan tidak dapat dihitung.
Jabatan
Pada masa revolusi kemerdekaan, Natsir pernah menjabat Wakil Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), yang waktu itu ketuanya dijabat oleh Assaat Datuk Mudo, dan beberapa kali menjadi Menteri Penerangan.
Natsir banyak berjasa untuk perkembangan dakwah Islam dan termasuk diantara sedikit tokoh Indonesia dengan reputasi internasional. Dia pernah menjabat presiden Liga Muslim se-Dunia (World Moslem Congress), ketua Dewan Mesjid se-Dunia, anggota Dewan Eksekutif Rabithah Alam Islamy yang berpusat di Mekkah. Sebagai mubaligh, Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islamiah Indonesia, yang mengirimkan mubaligh ke seluruh Indonesia.
Gelar Kehormatan
Gelar Pahlawan Nasional
Gelar pahlawan nasional diberikan kepada Muhammad Natsir bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008.
Gelar Akademis
Akhir tahun 1979 Raja Fadh dari Arab Saudi memberi anugerah Faisal Award melalui King Faisal Foundation di Riyadh, bersama mufti Palestina. Sebelumnya tahun 1967, Universitas Islam Libanon memberi gelar Doctor Honoris Causa bidang politik Islam. Tahun 1991, gelar kehormatan yang sama dianugerahkan Universiti Kebangsaan Malaysia

Akhir Hidup
Tokoh yang sederhana ini wafat pada hari Sabtu tanggal 6 Februari 1993 bertepatan dengan 14 Sya’ban 1413 H di RSCM dalam usia 85 tahun pukul 12.10 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Semoga Allah ampuni segala dosanya, diterima segala amal ibadahnya dan dilapangkan kuburnya, dikumpulkan bersama para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih di dalam surga. PM Jepang saat itu, mengatakan bahwa : Berita wafatnya Pak Mohammad Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hiroshima.
2.      Pemikiran Pendidikan Moh.Natsir  Dan Pengaruhnya di Indonesia
Islam adalah agama yang mengajarkan pandangan hidup (way of life) bagi seluruh umat manusia. Islam menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, material dan spiritual, serta kesalihan pribadi dan kesalihan sosial.
Islam melihat manusia sebagai makhluk yang dimuliakan Allah SWT dimuka bumi dan harus melakukan perannya sebagai khalifah dan hamba Allah SWT melalui karya-karya yang bermanfaat bagi kehidupan seluruh umat manusia. Untuk mampu melakukan perannya secara baik, akal pikiran jiwa raga, dan berbagai potensi lainnya harus dibina secara berkesinambungan.
Sarana yang paling efektif untuk melakukan pembinaan manusia yang demikian itu adalah pendidikan yang diajarkan oleh Islam. Pendidikan Islam telah mampu menjadikan rahmatan lil aalamin pada masa dahulu selama berabad-abad di dunia.
Dalam buku Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Abuddin Nata, menjelaskan tentang gagasan dan pemikiran pendidiksan Natsir ( 2005 : 81-94) yang secara ringkas sebagai berikut.
Pertama, tentang peran dan fungsi pendidikan. Dalam hubungan ini paling kurang terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir.
Pertama, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan tersebut dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna.
Kedua, pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat- sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak al - karimah yang sempurna.
Ketiga, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan manusia yang jujur dan benar ( bukan pribadi yang hipokrit ).
Keempat, pendidikan agar berperan membawa manusia agar dapat mencapati tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah Swt.
 Kelima, pendidikan harus dapat menjadikan manusia yang dalam segala perilaku atau interaksi vertical maupun horizontalnya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam.
 keenam, pendidikan harus benar- benar mendorong sifat - sifat kesempurnaannya dan bukan sebaliknya, yaitu menghilangkan dan menyesatkan sifat -sifat kemanusiaan.
Kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Ketaatan kepada Allah yang mutlak itu mengandung makna menyerahkan diri secara total kepada Allah. Menjadikan manusia menghambakan diri hanya kepada -Nya.
Kedua, tentang tujuan pendidikan Islam. Menurut Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya menghasilkan manusia yang berperilaku islami, yakni beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang terpatri dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menempatkan beriman dan bertaqwa kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tujuan sentral.
Menurut M. Natsir, seorang hamba Allah adalah orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah, sebagai pemimpin manusia. Mereka menjalankan perintah Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia, menunaikan ibadah terhadap Tuhannya sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 177 yang artinya.
Bukanlah kebaikan itu dengan menghadapkan muka ke arah barat dan timur, tetapi kebaikan itu adalah mereka yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab, dan nabi -nabi -Nya serta memberikan harta yang disayanginya kepada karib -karibnya, anak yatim, orang yang terlantar, orang yang terputus uang belanjanya dalam perjalanan serta untuk memerdekakan manusia dari perbudakan. Ia mendirikan shalat, membayar zakat, teguh memegang janji apabila ia berjanji, bersifat sabar dan tenang di waktu bahaya dan bencana.
Berdasarkan ayat tersebut di atas, seorang hamba Allah adalah mereka yang memiliki enam sifat sebagai berikut. Pertama, memiliki komitmen iman dan tauhid yang kokoh kepada Allah serta terpantul dalam perilakunya sehari - hari. Kedua, memiliki kepedulian dan kepekaan sosial dengan cara memberikan bantuan dan santunan serta mengatasi kesulitan dan penderitaan orang lain. Ketiga, senantiasa melakukan hubungan vertikal dengan Tuhan dengan menjalankan ibadah shalat secara kontinu. Keempat, senantiasa melakukan hubungan horizontal dengan sesama manusia dengan cara memberikan sebagain harta yang dimiliki kepada orang lain. Kelima, memiliki akhlak yang mulia yang ditandai dengan kepatuhan dalam menunaikan janji yang telah diucapkannya, Keenam, memiliki jiwa yang tabah dalam menghadapi situasi dan kondisi yang kurang menyenangkan, bahkan menakutkan.
Ketiga, tentang dasar pendidikan. Dalam tulisannya yang berjudul Tauhid sebagai Dasar Didikan, M. Natsir menceritakan tentang pentingnya tauhid dengan mengambil contoh pada seorang professor fisika bernama Paul Ehrenfest yang mati bunuh diri. Ia berasal dari keluarga baik -baik dan telah memperoleh pendidikan Barat tingkat tinggi. Telah banyak penemuan -penemuan rahasia alam yang dihasilkannya dan telah menjadi bahan rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan. Pekerjaannya sehari -hari tak pernah tercela. Demikian pula pergaulannya selalu dengan orang yang baik -baiknya, bahkan ia sendiri termasuk orang yang ramah.
Keempat, tentang ideologi dan pendekatan dalam pendidikan. Natsir mengajukan konsep pendidikan yang khas ditengah persoalan dikotomis antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Konsep pendidikannya adalah integral, harmonis, dan universal. Dalam pidato yang ia sampaikan pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934 dengan judul - Ideologi Didikan Islam serta dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat pada 1937 dengan judul Tauhid sebagai dasar Pendidikan, dengan gamblang menggariskan ideologi pendidikan umat Islam dengan bertitik tolak dari dan berorientasi kepada tauhid sebagaimana tersimpul dalam kalimat syahadat.
Melalui dasar tersebut akan tercipta integrasi pendidikan agama dan umum. Konsep pendidikan yang integral, universal, dan harmonis menurut Natsir, tidak mengenal dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum, melainkan antara keduanya memiliki keterpaduan dan keseimbangan. Semua itu dasarnya agama, apa pun bidang dan disiplin ilmu yang ditekuninya. Sepertinya kelahiran Sekolah Islam Terpadu saat ini melalui himpunan keanggotaan Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia memiliki nafas yang sama dengan pandangan Natsir ini.
Kelima, tentang fungsi bahasa asing. Menurut Natsir bahwa bahasa asing amat besar perannya dalam mendukung kemajuan dan kecerdasan bangsa. Dalam kaitan ini, Natsir selalu ingat pada ucapan Dr.G. Drewes yang mengatakan bahwa hanya dengan mengetahui salah satu bahasa Eropa, yang terutama sekali bahasa Belanda, masyarakat bumi putra dapat mencapai kemajuan dan kemerdekaan pikiran.
Lebih lanjut Dr. Drewes sebagaimana dikutip oleh Natsir mengatakan bahwa sebagai dasar bagi kecerdasan salah satu bangsa adalah bahasa ibunya sendiri. Bahasa erat kaitannya dengan corak berpikir suatu bangsa. Bahasa dari salah satu bangsa adalah tulang punggung dari kebudayaannya. Mempertahankan bahasa sendiri berarti mempertahankan sifat -sifat dan kebudayaannya sendiri. Kultur suatu bangsa berdiri atau jatuh bergantung pada bahasa dari bangsa itu sendiri. Sejalan itu, maka bahasa merupakan salah satu faktor terpenting yang mendorong mutu dan kecerdasan suatu bangsa. Bahasa ibu, bahasa kita sendiri. Adalah menjadi syarat bagi tegaknya kebudayaan kita.
Demikianlah antara lain pandangan Natsir terhadap bahasa asing khususnya bahasa Belanda dan Bahasa Arab. Untuk itu, kepada para siswa harus diberikan kemampuan berbahasa asing dan dengan melakukan langkah -langkah antara lain . 
  1. Perlu adanya upaya membasmi semangat anti-Arab atau anti-Islam yang diciptakan     oleh kolonial linguistik dan penguasa pribuminya yang taat dan setia.
  2. Status linguistik yang bebas dari bahasa Arab harus diakui dan bahasa Arab harus diperlakukan tidak lagi sebagai karya teologis.
  3. Negara -Negara Islam yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab, harus menerima bahasa Arab sebagai bahasa kedua setelah bahasa Nasional ibunya.
Keenam, tentang keteladanan guru. Menurut DR.G.J. Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Natsir, suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa tersebut pernyataan ini dikutip oleh Natsir, karena pada saat itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai menuru. Berkaitan dengan masalah ini, Natsir menulis artikel dengan kalimat pembuka : Sekarang saya mempropagandakan pendidikan, tetapi nanti saya tidak dapat mendidik anak -anak saya. Pernyataan kalimat tersebut merupakan salah satu alasan yang dikemukakan seorang lulusan HIK yang pernah menjadi pemuka dari organisasi guru -guru di Indonesia. Dari ungkapan itu Natsir memahami mengapa guru tamatan HIK menukar pekerjaannya ( alih profesi ) dari yang semula sebagai guru menjadi pegawai pos.
Sistem pendidikan Belanda memang betul dapat memberikan bekal pengetahuan modern, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh zaman, tapi sayang jiwanya kerdil, dan dikotomis karena tidak memiliki landasan iman dan akhlak yang mulia. Di sisi lain pendidikan pesantren dan madrasah memang betul memberikan bekal akidah dan akhlak yang mulia, tapi tidak memberikan bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi dan keterampilan yang memenuhi kebutuhan masyarakat sekarang.
3.      Pemikiran Politik Mohammad Natsir Dan Pengaruhnya di Indonesia
Mohammad Natsir (1908-1993).  Beliau berpendapat bahwa Islam ialah sumber penentangan setiap macam penjajahan, penentangan eksploitasi manusia atas manusia; sumber pemberantasan kebodohan, kejahilan; sumber pemberantasan pendewaan, juga sumber pemberantasan kemelaratan dan kemiskinan. Islam tidak memisahkan antara kegamaan dan kenegaraan. Islam itu adalah primair.  Maka Islam itu adalah : االد ين و الدولة  ( al-din wa al-daulah) agama dan negara.
Walaupun demikian, Mohammad Natsir  beranggapan bahwa sistem kenegaraan dan politik Islam tidak harus sama dan sebangun dengan apa yang terjadi di masa Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidin. Juga tidak harus sama  dengan kekhalifahan sesudahnya seperti masa Bani Umayah dan Bani Abbasiah, bahkan tidak pula sama dengan apa yang terjadi di masa Safawi, Mughal atau  Turki Usmani.  Bagi Natsir, Islam menjadi sumber kehidupan negara modern sesuai dengan keadaan zaman, waktu dan tantangan yang dihadapi. Menurut Lance  Castle dan Herbert Feith dalam Indonesian Political Thinking: 1945-1965 ,  cita-cita politik Mohammad Natsir adalah :
Pertama, membebaska manusia dari segala bentuk supertisi (takhayul dan khaurafat), memerdekakannya dari segala rasa takut kecuali kepada Allah Sang Maha Pencipta serta memegang perintah-perintah-Nya agar kebebasan ruhani manusia dapat dimenangkan.
Kedua, segala macam tirani harus dilenyapkan, eksploitasi manusia diakhiri, dan kemiskinan diberantas untuk mencapai maksud-maksud tersebut. Tirani dan eksploitasi manusia dilenyapkan bilamana penderitaan dan penyakit masyarakat dapat dihilangkan, yang kesemuanya bersumber pada kemusyrikan dan kekufuran.
Ketiga, chauvinisme yang merupakan akar intoleransi dan permusuhan di antara manusia wajib diperangi. Secara demikian, kita semua wajib membangun masyarakat di mana martabat manusia diakui secara penuh, seluruh anggota masyarakat satu sama lain tolong-menolong dan menolak anggapan yang kuatlah yang menang (the survival of the fittest).
Keempat, Natsir yakin bahwa Islam mengajarkan cita-cita politik yang sangat luhur, dan dalam kenyataan umat Islam Indonesia telah memperjuangkan cita-cita untuk membangun masyarakat yang bebas dari chauvinisme, tirani, dan eksploitasi. Tauhid adalah modal perjuangan kaum Muslimin.
Oleh karena dengan Tauhid, perjuangan tersebut tidak akan pernah menyimpang. Seluruh perjuangan para pemimpin Islam  pada hakikatnya bergerak untuk mencapai cita-cita itu, sebagaimana telah dilakukan oleh Imam Bonjol, Tengku Cik Di Tiro, Diponegaro, Hasanuddin dan lain-lain.
Kelima, untuk mencapai tujuan politik tersebut di atas, konteks situasional dan kondisional yang dihadapi harus diperhatikan, berhubung cara-cara perjuangan harus selalu disesuaikan dengan  tantangan dan masalah yang dihadapi.
Berdasarkan cita-cita politik yang demikian, maka M. Natsir dengan jelas menolak paham sekularisme dalam bernegara. Ia mengatakan bahwa sekularisme adalah way of life yang berpikirnya, tujuannya, dan karakteristiknya dibatasi oleh tujuan-tujuan keduniaan semata-mata.  Tidak ada tujuan kaum sekularis yang lebih jauh dari perkara-perkara keduniaan.
Sekalipun kaum sekularis kadangkala mengakui eksistensi Tuhan, dalam kehidupan sehari-harinya mereka tidak mengakui pentingnya hubungan  antara jiwa manusia dengan Tuhan. Apakah hubungan itu dinyatakan dalam tingkah laku keseharian yang menyangkut berbagai dimensi kehidupan ataupun hubungan kemasyarakatan dalam arti kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kaum sekularis menurut Natsir, menganggap konsep ketuhanan dan agama hanyalah kreasi manusia yang ditentukan oleh kondisi sosialnya dan bukan oleh kebenaran wahyu. Bagi mereka, agama dan doktrin-doktrin mengenai eksistensi Tuhan adalah relatif, selalu berubah sesuai dengan pertumbuhan masyarkat manusia.
Dalam konteks kenegaraan di Indonesia,  penting dicatat bahwa pandangan Natsir terhadap Pancasila.  Bagi Natsir Pancasila adalah sejumlah prinsip yang luhur yang dapat mengatasi keabstrakannya bila Pancasila tidak ditafsirkan secara sekularistis, namun dilandasi pada ajaran agama. 
Di dalam Pidatonya di hadapan  The Institute of International Affairs 2 April 1952 di Pakistan, salah satu isinya adalah bahwa Pancasila merupakan hasil pemikiran terbaik kaum muslimin Indonesia sambil menegaskan bahwa Ilam tidak mungkin bertabrakan dengan Pancasila karean Islam pada hakikatnya adalah serba sila.
Artinya, Pancasila dalam pemikiran Natsir bukanlah sekularistik, tetapi mengandung aspek Tauhidi. Terutama pada silanya yang pertama yang akan memberi semangat dan jiwa ke dalam sila-sila yang lain. Oleh karena itu  bagi Natsir harus ditolak pemahaman sebagian kalangan Indonesia yang salah menafsirkan tentang toleransi keagamaan dalam Islam. Bagi Natsir, dalam naungan Islam semua agama akan dapat menikmati kebebasannya secara penuh. Di dalam Capita Selecta II,  Natsir mengemukakan amat pentingnya memelihara kemerdekaan beragama dan menerima sepenuhnya pluralisme agama. Untuk itu perlu ditanamkan ke jiwa dan hati sanubari bangsa ini enam konsep dasar:
Pertama, Tauhid adalah revolusi ruhani yang membebaskan manusia dari kungkungan dan tekanan jiwa yang seluas-luasanya.
Kedua, agama yang sebenar-benarnya agama adalah agama yang sesuai dengan sunnatullah (tauhid). Oleh karena itu, Islam berprinsip: tidak ada paksaan dalam agama;
Ketiga, keimanan adalah karunia Ilahi dan umat Islam diperintahkan untuk memanggil umat manusia dengan seruan yang bijaksana, mujadalah  yang sopan, tertib dan bijaksana.
Keempat, perbedaan  tentang ibadah dan agama tidak boleh menyebabkan putus asanya seorang Muslim dalam mencari titik persamaan yang ada di dalam agama-agama itu.
Kelima, umat Islam tidak boleh dipengaruhi oleh hawa nafsu walupun  dari manapun datangnya dalam menegakkan  kejernihan hidup antar agama.
Keenam, toleransi Islam bukan bersifat pasif tetapi aktif . "Aktif dalam menghargai  dan menghormati keyakinan orang lain.
4.      Pemikiran Keagamaan Moh.Natsir Dan Pengaruhnya di Indonesia
Kemerdekaan beragama bagi seorang Muslim adalah sebuah nilai hidup yang lebih tinggi dari pada nilai jiwanya sendiri. Apabila kemerdekaan agama terancam dan tertindas, walau kemerdekaan agama bagi bukan orang yang beragama Islam, maka seorang muslim diwajibkan untuk melindungi kemerdekaan agama tersebut agar manusia dapat secara merdeka menyembah Tuhan menurut agamanya masing-masing, dan di mana pun perlu dengan mempertahankan jiwanya."
Bagi Natsir, agama tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau idiologi seperti kalangan Kristen, fasis, atau Komunis. Natsir lalu mengutip nas Alquran yang dianggap sebagai dasar ideologi Islam yang artinya, "Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku." (51: 56). Bertitik tolak dari dasar idiologi Islam ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436).
Untuk mencapai predikat "hamba Allah" tersebut, Allah memberikan aturan kepada manusia. "Aturan atau cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan dan cara kita yang berlaku berhubungan dengan sesama manusia. Di antara aturan-aturan yang berhubungan dengan muamalah sesama makhluk itu, ada diberikan garis-garis besarnya seseorang terhadap masyarakat, dan hak serta kewajipan masyarakat terhadap diri seseorang. Yang akhir ini tak lebih-tak kurang, ialah yang dinamakan orang sekarang dengan urusan kenegaraan." (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436).
Menurut Natsir, ketidakfahaman terhadap negara Islam, negara yang menyatukan agama dan politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan memahami gambaran pemerintahan Islam. "Kalau kita terangkan, bahwa agama dan negara harus bersatu, maka terbayang sudah di mata seorang bahlul (bloody fool) duduk di atas singgahsana, dikelilingi oleh "haremnya" menonton tari "dayang-dayang". Terbayang olehnya yang duduk mengepalai "kementerian kerajaan", beberapa orang tua bangka memegang hoga. Sebab memang beginilah gambaran 'pemerintahan Islam' yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa: Chalifah = Harem; Islam = poligami." (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 438).
Natsir berkata bahwa bila ingin memahami agama dan negara dalam Islam secara jernih, hendaknya kita mampu menghapuskan gambaran keliru tentang negara Islam di atas. Secara implisit Natsir menilai bahwa gambaran "negara Islam" seperti inilah yang terdapat dalam pandangan Soekarno maupun Kemal.
Turki pada masa pemerintahan para sultan dan kekhalifahan Usmaniyah terakhir bukanlah negara atau pemerintahan Islam, sebab para pemimpinnya menindas dan membiarkan rakyatnya bodoh dengan memakai Islam dan segala bentuk ibadah-ibadahnya sebagai tameng belaka.
Jadi, Islam memang tidak pernah bersatu dengan negara sebagaimana diduga Soekarno maupun Kemal.Dengan logika seperti ini, Natsir menilai bahwa sikap mendukung Soekarno terhadap gagasan pemisahan agama dari negara tidak tepat. Kata Natsir lebih lanjut, "Maka sekarang, kalau ada pemerintahan yang zalim yang bobrok seperti yang ada di Turki di zaman Bani Usman itu, bukanlah yang demikian itu, yang kita jadikan contoh bila kita berkata, bahwa agama dan negara haruslah bersatu. Pemerintahan yang semacam itu tidaklah akan dapat diperbaiki dengan "memisahkan agama" daripadanya seperti dikatakan Ir. Soekarno, sebab memang agama, sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu." (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 440).
Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan akhir Islam melainkan hanya alat merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam Alquran dan sunah. Semua aturan-aturan Islam itu, Natsir menyebutkan di antaranya kewajiban belajar, kewajiban zakat, pemberantasan perzinaan, dan lain-lain, tidak ada artinya manakala tidak ada negara. Negara di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan "kesempurnaan berlakunya undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri (sebagai individu) ataupun sebagai anggota masyarakat." (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 442).

Menanggapi pernyataan Soekarno yang menyatakan tidak ada ijma ulama yang memerintahkan membentuk negara, Natsir secara tersirat menilai Soekarno tidak objektif dalam mengemukakan pendapatnya. Sebab, di satu pihak ia menganjurkan agar umat Islam membuang "warisan tradisional" gedachte traditie.
Tetapi, di lain pihak ia sendiri secara sadar mengutip konsep tradisional, bahwa tidak ada ijma tentang persatuan agama dengan negara. Natsir kemudian menyatakan, "Bagaimanakah, kalau andaikata, kita beri keterangan bahwa sesungguhnya ada ijma ulama yang berkata begitu? Apakah Ir. Soekarno akan menerima keputusan ijma ulama itu, ataukah tidak? Atau nanti beliau akan berkataL 'Ya, itu cuma satu ijma ulama, satu gedachte traditie', dan bukanlah saya sudah bilang bahwa semua 'gedachte traditie' itu harus dilempar jauh-jauh." (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 434).
Natsir menganggap ijma ulama itu hanyalah pengertian "karet", satu rekbaar begrip yang tak tentu ujung pangkalnya. Artinya, konsep itu dapat digunakan untuk membenarkan gagasan pemisahan maupun persatuan agama dengan negara. Dengan demikian, menurut Natsir, pengutipan konsep ijma ulama tentang masalah ini oleh Soekarno, hanya mempersulit persoalan. Ada atau tidak ada Islam, menurut Natsir, eksistensi negara merupakan suatu keharusan di dunia ini, di zaman apa pun. "Memang negara tidak perlu disuruh didirikan oleh Rasulullah lagi. Dengan atau tidak dengan Islam, negara memang bisa berdiri dan memang sudah berdiri sebelum dan sesudah Islam, di mana saja ada segolongan manusia yang hidup bersama-sama dalam satu masyarakat.
Di zaman onta, sebagaimana yang munasabah dengan masa itu dan negara di zaman kapal terbang, sebagaimana yang munasabah dengan zaman kapal terbang pula. Tentang ada negara yang teratur, dan ada yang kurang teratur, adalah soal biasa. Tapi bagaimanapun juga, kedua-duanya adalah negara. Dengan atau tidak dengan Islam! (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 442--443).
Dengan pernyataan ini, Natsir bermaksud membantah dan mempertanyakan pandangan Ali Abdur Raziq. Ia ragu bila ulama Al-Azhar itu berpendapat bahwa Nabi hanyalah mendakwahkan agama dan tidak menyuruh mendirikan negara, tetapi sekalipun demikian, hal itu bukan sesuatu yang mengherankan. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 443, 481--488).
Kemudian, menyinggung soal nama penguasa negara Islam, Natsir tidak bersikeras menamakannya "Chalifah": "Titel Chalifah bukan menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan Islam, bukan conditio sine quo non. Cuma saja yang menjadi kepala negara yang diberi kekuasaan itu sanggup bertindak bijaksana dan peraturan-peraturan Islam berjalan dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik dalam kaedah maupun dalam praktik." (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 443).
Yang menjadi syarat untuk menjadi kepala negara Islam adalah, "Agamanya, sifat dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya, jadi bukanlah bangsa dan keturunannya ataupun semata-mata inteleknya saja." (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 448).
Terhadap penguasa negara terpilih, umat mempunyai kewajiban mengikutinya selama ia benar dalam menjalankan kekuasaannya. Bila menyimpang, umat berhak melakukan koreksi atau mengingkari penguasa negara. Dalam masalah ini, Islam menekankan kewajiban musyawarah tentang hak dan kewajiban antara penguasa dan yang dikuasai. Prinsip musyawarah dalam Islam, menurut Natsir, nampaknya tidak selalu identik dengan asas demokrasi.
Hal ini terlihat saat Natsir menanggapi pernyataan Soekarno yang menghendaki agar demokrasi dijadikan alternatif bila timbul persoalan tentang berpisahnya agama dan negara. Natsir mengemukakan bahwa Islam anti-istibdad (despotisme), anti-absolutisme dan kesewenang-wenangan. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa dalam pemerintahan Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan musyawarah Majelis Syura. Dalam parlemen negara Islam, yang hanya boleh dimusyawarahkan adalah tata cara pelaksanaan hukum Islam (syariat Islam), tetapi bukan dasar pemerintahannya. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 452).
Natsir mengakui demokrasi itu baik, tetapi sistem kenegaraan Islam tidaklah mengandalkan semua urusannya kepada instrumen demokrasi, sebab demokrasi tidak kosong dari berbagai bahaya yang terkandung di dalamnya. Ia menyatakan bahwa perjalanan demokrasi dari abad ke abad telah memperlihatkan beberapa sifatnya yang baik. Akan tetapi, demokrasi juga melekat pada dirinya pelbagai sifat-sifat berbahaya.
Dengan tegas pula Natsir mengemukakan bahwa Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri, yang mempunyai sifat-sifat sendiri pula. Islam tak usah demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam itu ... yah Islam. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 453).
Berbeda dengan Soekarno yang menganggap Turki demokratis pada masa pemerintahan Kemal, Natsir justru berpendapat Turki masa Kemal sebagai diktator. Pada masa pemerintahan Kemal, kata Natsir, tidak ada kemerdekaan pers, kemerdekaan berpikir, dan kebebasan membentuk partai oposisi. Juga, Islam hanya ditoleransi untuk berkembang sejauh menyangkut aspek-aspek tertentu saja, Islam Im Schutzscahft. Tidak ada kemerdekaan bagi Islam di tanah Turki merdeka ...." (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 456--470).
Menolak pandangan Soekarno bahwa caesaro-papisme identik dengan pemerintahan Islam kekhalifahan Usmaniyah terakhir, Natsir dengan tegas menyatakan bahwa lembaga caesaro-papisme bukan sistem kenegaraan Islam. Teori kenegaraan ini hanya terdapat di negara yang menganut asas pemisahan agama dari negara. "Islam tidak kenal kepada 'Kepala Agama' seperti Paus atau Patriarch. Islam hanya mengenal satu 'Kepala Agama', ialah Muhammad Rasulullah saw. Beliau sudah wafat dan tidak ada gantinya lagi untuk selama-lamanya. 'Kepala Agama' yang bernama Muhammad ini telah meninggalkan satu sistem yang bernama Islam, yang harus dijalankan oleh kaum muslimin, dan harus dipelihara dan dijaga supaya dijalankan 'kepala-kepala keduniaan' (bergelar raja, chalifah, presiden, atau lain-lain) yang memegang kekuasaan dalam kenegaraan kaum muslimin. Sahabat-sahabat Nabi yang pernah memegang kekuasaan negara sesudah Rasulullah saw. seperti Abu Bakar, Umar, Usman, Ali tidaklah merangkap jadi 'Kepala Agama'. Mereka itu hanyalah 'kepala keduniaan' yang menjadikan pemerintahannya menurut aturan yang telah ditinggalkan oleh 'Kepala Agama', yaitu oleh Muhammad Rasulullah yang penghabisan itu, lain tidak!" (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 470).
Dalam artikel penutupnya, Natsir kembali menyangkal pandangan Soekarno yang menyandarkan kebenaran tindakan Kemal pada sejarah. Natsir berpendapat bahwa Kemal sebenarnya telah tersesat, sebab: "... tidak reel tidak berurat berakar dalam kultur rakyat Turki, malah dalam beberapa hal dia mencabut jiwa Turki dari tradisi dan kulturnya (lihat Chalide Edib Hanoum: Turkey Faces West). Ini sudah dibuktikan dalam masa yang akhir-akhir ini, lantaran sesudahnya Kemal meninggal, maka berangsur-angsur kebudayaan Turki lama merebut tempatnya kembali, baik tentang agama ataupun hal-hal di luar agama." (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 489).
Kemudian, Natsir mengimbau kepada kaum muslimin agar dalam masalah persatuan dan pemisahan agama dan negara ini tidak menjadikan "sejarah menjadi ukuran" kebenaran terakhir. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 489).
Membaca gagasan-gagasan Soekarno dan Muhammad Natsir di atas memberikan kesan adanya pertentangan gagasan tajam di antara kedua tokoh tersebut. Soekarno, berdasarkan analisis perkembangan sejarah, berkesimpulan bahwa agama dan negara tidak dapat disatukan. Keduanya harus dipisahkan. Sementara, Natsir menilai bahwa agama dan negara dapat dan harus disatukan, sebab Islam tidak seperti agama-agama lainnya, merupakan agama yang serba mencakup (komprehensif). Persoalan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian dari dan diatur Islam.


Daftar Pustaka
Departemen Agama. Terjemah Al Qurannul Karim.
Alaydroes, Fahmy dkk. 2006. Jaringan Sekolah Islam Terpadu: Konsep dan Aplikasinya. Bandung: Asy Syamil
Nata, Abuddin. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. 2004
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

semoga bermanfaat.......