Selasa, 06 September 2011

MODEL-MODEL MANUSIA Menurut Douglas McGregor : Teori Perilaku Teori X dan Teori Y (X Y Behavior Theory)

BAB 1
PENDAHULUAN
Memimpin adalah mengatur manusia lain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Memimpin manusia memerlukan penguasaan tentang karakter jasmani ruhani manusia. Berhadapan dengan nilai, al Qur-an membagi manusia dalam tiga katagori yakni mumin (penerima dan pelaksana nilai secara utuh), kafir (penolak dan penyerang nilai secara utuh), dan oportunis (menerima dan menolak nilai terkait dengan perhitungan keuntungan pribadi yg bersifat subjektif). Dalam pada itu secara kualitatif manusia juga dibedakan dalam dimensi-dimensi basyar, naas, dan insan, yang memiliki kecenderungan masing-masing. Implikasi karakter tersebut dalam menghadapi tugas pekerjaan, adalah adanya keragaman performance seperti dikemukakan McGregor dengan model X dan model Y, atau model Z sebagaimana diungkapkan William G Ouchi.  Pemahaman tentang model-model manusia ini jadi demikian penting bagi seorang pemimpin supaya bertindak proporsional menempatkan atau memberi peran sebab selain tidak ada dua manusia yang persis sama, pentingnya dignity pada setiap manusia, juga secara hakiki ”the whole person must be considered”.
BAB II
MODEL MODEL MANUSIA
A.        Model-Model Manusia menurut Perspektif Al-Qur’an
Berbicara tentang manusia berarti kita berbicara tentang dan pada diri kita sendiri makhluk yang paling unik di bumi ini. Banyak di antara ciptaan Allah yang telah disampaikan lewat wahyu yaitu kitab suci. Manusia merupakan makhluk yang paling istimewa dibandingkan dengan makhluk yang lain. Menurut Ismail Rajfi manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang diperlukan (Jalaluddin, 2003: 12).
Manusia mempunyai kelebihan yang luar biasa. Kelebihan itu adalah dikaruniainya akal. Dengan dikarunia akal, manusia dapat mengembangkan bakat dan potensi yang dimilikinya serta mampu mengatur dan mengelola alam semesta ciptaan Allah  sebagai amanah.
Selain itu manusia juga dilengakapi unsur lain yaitu qolbu (hati). Dengan qolbunya manusia dapat menjadikan dirinya sebagai makhluk bermoral, merasakan keindahan, kenikmatan beriman dan kehadiran Ilahi secara spiritual (Jalaluddin, 2003: 14).
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain, dengan memiliki potensi akal, qolbu dan potensi-potensi lain untuk digunakan sebagai modal mengembangkan kehidupan.
Hakikat wujud manusia menurut Ahmad Tafsir (2005: 34) adalah makhluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa manusia mempunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyaknya potensi yang dimiliki. Dalam hal ini beliau membagi kecenderungan itu dalam dua garis besar yaitu cenderung menjadi orang baik dan cenderung menjadi orang jahat (2003: 35). Pemahaman tentang manusia merupakan bagian dari kajian filsafat. Tak mengherankan jika banyak sekali kajian atau pemikiran yang telah dicurahkan untuk membahas tentang manusia . walaupun demikian, persoalan tentang manusia akan menjadi misteri yang tidak  terselesaikan.
Hal ini menurut Husein Aqil al-Munawwar dalam Jalaluddin (2003: 11) karena keterbatasan pengetahuan para ilmuan untuk menjangkau segala aspek yang terdapat dalam diri manusia. Lebih lanjut Jalaluddin (2003: 11) mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk Allah yang istimewa agaknya memang memiliki latar belakang kehidupan yang penuh rahasia. Dengan demikian, memang yang menjadi keterbatasan untuk mengetahui segala aspek yang terdapat pada diri manusia itu adalah selain keterbatasan  para ilmuan untuk mengkajinya, juga dilatarbelakangi oleh faktor keistimewaan manusia itu sendiri.  Walaupun demikian, sebagai hamba yang lemah, usaha untuk mempelajarinya tidaklah berhenti begitu saja. Banyak sumber yang mendukung untuk mempelajari manusia. Di antara sumber yang paling tinggi adalah Kitab Suci Al-Qur’an. Yang mana di dalamnya banyak terdapat petunjuk-petunjuk tentang penciptaan manusia. Konsep-konsep tentang manusia banyak dibahas, mulai dari proses penciptaan sampai kepada fungsinya sebagai makhluk ciptaan Allah. Didalam Al-qur’an Allah membagi manusia dalam tiga kategori yaitu:
a. Kata al-basyar dinyatakan dalam al-qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat, secara etimologi, al-basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut, penamaan ini menunjukkan makna bahwa secara biologis yang mendominasi manusia adalah pada kulitnya, dibandingkan rambut bulunya. pada aspek ini terlihat perbedaan umum biologis manusia dengan hewan yang lebih di dominasi bulu atau rambut. Firman Allah dalam Q.S. 18 : 110)
“Katakanlah sesunguhnya aku (Muhammad) hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku………. (Q.S. 18 : 110).
Dengan pemaknaan yang diperkuat umat diatas dapat dipahami bahwa seluruh manusia (Bumi adam 4-5) akan mengalami proses reproduksi seksual dan senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya, memerlukan ruang dan waktu, serta tunduk terhadap hukum alamiahnya. baik yang berupa sunnahtullah (sosial-kemasyarakatan) maupun takdir allah (hukum alam).
b. Kata al-ihsan yang berasal dari kata al-uns dinyatakan dalam al-qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat. secara etimologi al-ihsan digunakan al-qur’an untuk menunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Perpaduan antara aspek fisik dan psikis telah membantu manusia untuk mengembangkan dimensi al-ihsan yaitu sebagai makhluk berbudaya yang mampu berbicara mengetahui baik dan buruk, mengembangkan ilmu pengetahuan yang mampu berbicara mengetahui baik dan buruknya, mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban dan lain sebagainya, Allah berfirman :
“Ayahnya berkata : hai anakku, janganlah kamu ceritakan impianmu itu kepada sandara-saudaramu, maka mereka membuat makan (untuk membinasakanmu) sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia:. (Q.S. 12 : 5).
c. Kata al-nas dinyatakan dalam al-qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat, kata al-nas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk sosial secara keseluruhan tanpa melihat status keimanan atau kekafirannya, dalam menunjukkan makna manusia, kata al-nas lebih bersifat umum bila dibandingkan dengan kata al-insan. seperti dalam firman Allah’ pada Q.S. 2 : 24.
“Maka jika kamu tidak dapat membuatnya dan pasti kamu tidak akan dapat membuanya, peliharalah dirimu dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir (Q.S. 2 : 24).
B.        Model Model Manusia Dalam Perspektif Filsafat
Para ahli pikir filsafat mencoba memaknai hakikat manusia. Mereka mencoba manamai manusia sesuai dengan potensi yang ada pada manusia itu.  
Menurut Syahminan Zaini, (1980: 5-6) Berdasarkan potensi yang ada, para ahli pikir dan ahli filsafat tersebut memberi nama pada diri manusia di muka bumi ini dengan sebutan-sebutan sebagai berikut:
a)    Homo Sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi.
b)    Animal Rational, artinya binatang yang berpikir.
c)    Homo Laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun.
d)    Homo Faber, yaitu makhluk yang terampil, pandai membuat perkakas, atau disebut juga tool making animal, yaitu binatang yang pandai membuat alat.
e)    Aoon Politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerjasama, bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
f)     Homo Economicus, yaitu makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis.
g)    Homo Religius, yaitu makhluk yang beragama.
Dalam perspektif filsafat, konsep manusia menurut Jalaluddin (2003: 32-33) juga mencakup ruang lingkup kosmologi (bagian dari alam semester), antologi (pengabdi Penciptanya), philosophy of mind (potensi), epistemology (proses pertumbuhan dan perkembangan potensi) dan aksiologi (terikat nilai-nilai).  
C.        Model Manusia Dalam Perspektif Manajemen
Model Kepemimpinan Likert (Likert’s Management System). Likert dalam Stoner (1978) menyatakan bahwa dalam model kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam empat sistem, yaitu sistem otoriter, otoriter yang bijaksana, konsultatif, dan partisipatif. Penjelasan dari keempat sistem tersebut adalah seperti yang disajikan pada bagian berikut ini.
a)    Sistem Otoriter (Sangat Otokratis). Dalam sistem ini, pimpinan menentukan semua keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan, dan memerintahkan semua bawahan untuk menjalankannya. Untuk itu, pemimpin juga menentukan standar pekerjaan yang harus dijalankan oleh bawahan. Dalam menjalankan pekerjaannya, pimpinan cenderung menerapkan ancaman dan hukuman. Oleh karena itu, hubungan antara pimpinan dan bawahan dalam sistem adalah saling curiga satu dengan lainnya.
b)    Sistem Otoriter Bijak (Otokratis Paternalistik). Perbedaan dengan sistem sebelumnya adalah terletak kepada adanya fleksibilitas pimpinan dalam menetapkan standar yang ditandai dengan meminta pendapat kepada bawahan. Selain itu, pimpinan dalam sistem ini juga sering memberikan pujian dan bahkan hadiah ketika bawahan berhasil bekerja dengan baik. Namun demikian, pada sistem inipun, sikap pemimpin yang selalu memerintah tetap dominan.
c)    Sistem Konsultatif. Kondisi lingkungan kerja pada sistem ini dicirikan adanya pola komunikasi dua arah antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin dalam menerapkan kepemimpinannya cenderung lebih bersifat mendukung. Selain itu sistem kepemimpinan ini juga tergambar pada pola penetapan target atau sasaran organisasi yang cenderung bersifat konsultatif dan memungkinkan diberikannya wewenang pada bawahan pada tingkatan tertentu.
d)    Sistem Partisipatif. Pada sistem ini, pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang lebih menekankan pada kerja kelompok sampai di tingkat bawah. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemimpin biasanya menunjukkan keterbukaan dan memberikan kepercayaan yang tinggi pada bawahan. Sehingga dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan target pemimpin selalu melibatkan bawahan. Dalam sistem inipun, pola komunikasi yang terjadi adalah pola dua arah dengan memberikan kebebasan kepada bawahan untuk mengungkapkan seluruh ide ataupun permasalahannya yang terkait dengan pelaksanaan pekerjaan.
D.           Model Manusia Menurut Para Ahli
Plato  (427-347) yang dalam bukunya berjudul Republic, membagi tiga gaya kepemimpinan, yaitu
1.    Filosofer (Pemikir)
2.    Militer (Otoriter)
3.    Entetpreneur
Beberapa kepemimpinan yang banyak mempengaruhi perilaku pengikutnya. Gaya kepemimpinan adalah norma perilaku yang oleh seseorang pada saat orang itu mempengaruhi perilaku orang lain. Berbicara mengenai gaya, sesungguhnya berbicara mengenai ‘modalitas’ dalam kepemimpinan. Gaya kepemimpinan seseorang akan identik dengan tipe kepemimpinan orang yang bersangkutan.
Secara rinci Siagian (1994: 27) membagi lima gaya kepemimpinan yang secara luas dikenal dewasa ini, yaitu :
1.      Tipe Otokratik
Pemimpin yang otokratik memiliki serangkaian karakteristik yang dapat dipandang sebagai karakteristik yang negatif.
Di lihat dari persepsinya, seorang pemimpin yang otokratik adalah seorang yang sangat egois. Sikap egoisme tersebut akan memberi tekanan kepada bawahannya. Sehingga kedisiplinan yang tertanam berdasarkan rasa ketakutan, bukan disiplin yang sudah semestinya dijalankan.
Kepemimpinan otokratik mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan yang mutlak harus dipatuhi. Pemimpinnya sangat berambisi untuk merajai situasi, setiap perintah dan bijakan ditetapkan tanpa konsultasi dengan bawahan. Meski pemimpin otokratik selalu berdiri jauh dari kelompoknya, jadi ada sikap menyisihkan diri dan eksklusivisme. Pemimpin otokratik senantiasa ingin berkuasa absolut, tunggal, dan merajai keadaan.
Dalam Veithzal Rivai, sikap-sikap pemimpin otokrat dapat dijabarkan sebagai berikut :
a)    Kurang mempercayai anggota kelompoknya
b)    Otoriter
c)    Hanya dengan imbalan materi sajalah yang mampu mendorong orang untuk bertindak.
d)    Kurang toleransi terhadap kesalahan yang dilakukan anggota kelompok
e)    Peka terhadap perbedaan kekuasaan
f)     Kurang perhatian kepada anggota kelompoknya
g)    Memberikan kesan seolah-olah demokratis
h)    Mendengarkan pendapat anggota kelompoknya semata-mata hanya untuk menyenangkan
i)      Senantiasa membuat keputusan sendiri.

Dengan persepsi, nilai-nilai, sikap dan perilaku demikian, seorang pemimpin yang otokratik dalam praktek akan menggunakan gaya kepemimpinan yang :
1) Menuntut ketaatan penuh dari bawahannya
2) Dalam menegakkan disiplin menunjukkan kekakuan
3) Bernada keras dalam pemberian perintah atau instruksi
4) Menggunakan pendekatan punitif dalam hal terjadinya penyimpangan oleh bawahan
Harus diakui, bahwa hanya efektifitas semata-mata yang diharapkan dari seorang pemimpin dalam mengemudikan jalannya organisasi, tipe otokratik mungkin mampu menyelenggarakan berbagai fungsi kepemimpinannya dengan baik.
Akan tetapi yang dipermasalahkan di sini adalah tekanan yang dirasakan oleh para bawahan, sehingga disiplin ketat berjalan karena rasa takut dari paksaan atasan bukan karena berdasarkan keyakinan bahwa tujuan yang telah ditentukan itu wajar dan layak untuk dicapai.
Maka dari itu, kepemimpinan yang otokratik sangat dikaitkan dengan kekuasaan mengambil tindakan yang punitif. Biasanya, apabila kekuasaan mengambil tindakan punitif itu tidak lagi dimilikinya, ketaatan para bawahan segera mengendor dan disiplin kerjapun segera mengendor.
2.         Tipe Paternalistik
Gaya paternalistik adalah gaya kepemimpinan dari pemimpin yang bersifat tradisional, umumnya di masyarakat yang agraris. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti:
1) Kuatnya ikatan primordial,
2) Sistem kekeluargaan,
3) Kehidupan masyarakat yang komunalistik,
4) Peranan adat istiadat yang sangat kuat dalam kehidupan bermasyarakat,
5) Masih dimungkinkannya hubungan pribadi yang intim antara seorang anggota masyarakat   dengan anggota masyarakat lainnya.
Salah satu ciri utama dari masyarakat tradisional ialah rasa hormat yang tinggi yang ditujukan oleh para anggota kepada seseorang yang dituakan.
Orang yang dituakan, dihormati terutama karena orang yang demikian biasanya memproyeksikan sifat-sifat dan gaya hidup yang pantas dijadikan teladan atau panutan oleh para anggota masyarakat lainnya. Biasanya orang yang dituakan terdiri dari tokoh-tokoh adat, para ulama dan guru.
Para bawahan biasanya mengharapkan seorang pemimpin yang paternialistik, mempunyai sifat tidak mementingkan diri sendiri melainkan memberikan perhatian terhadap kepentingan dan kesejahteraan bawahannya. Akan tetapi, legitimasi kepemimpinannya berarti penerimaan atas perannya yang dominan dalam kehidupan organisasional.
Selain dari itu, Kartini Kartono juga mengungkapkan bahwa tipe kepemimpinan ini merupakan tipe yang kebapakan, dengan sifat-sifat :
a)    Dia menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak/belum dewasa, atau anak sendiri yang perlu dikembangkan
b)    Dia bersikap terlalu melindungi (overly protective)
c)    Jarang bisa memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan  sendiri
d)    Dia hampir-hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahan untuk berinisiatif
e)    Dia tidak memberikan atau hampir-hampir tidak pernah memberikan kesempatan pada pengikut dan bawahan untuk mengembangkan imajinasi dan karya kreatifitas mereka sendiri
f)     Selalu bersikap maha-tahu dan maha-benar.
Harus diakui bahwa dalam keadaan tertentu pemimpin seperti ini sangat diperlukan. Akan tetapi ditinjau dari segi sifat-sifat negatifnya pemimpin paternalistis kurang menunjukkan elemen kontinuitas terhadap organisasi yang dipimpinnya.


3.     Tipe Kharismatik
Seorang pemimpin yang kharismatik adalah seorang pemimpin yang dikagumi oleh banyak pengikut, meskipun para pengikut tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang tertentu itu dikagumi.
Pemimpin kharismatik ini memiliki kekuatan energi, daya tarik, dan pembawaan yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bisa dipercaya.
Sampai saat ini para ahli manajemen belum berhasil menemukan sebab-sebab mengapa seorang pemimpin memiliki karisma. Yang diketahui ialah tipe pemimpin seperti ini mempunyai daya tarik yang amat besar, dan karenanya mempunyai pengikut yang sangat besar. Kebanyakan para pengikut menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin seperti ini, pengetahuan tentang faktor penyebab karena kurangnya seorang pemimpin yang karismatis, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supernatural powers), perlu dikemukakan bahwa kekayaan, umur, kesehatan, profil pendidikan dan sebagainya. Tidak dapat digunakan sebagai kriteria tipe pemimpin karismatis.
4.      Tipe Laissez Faire
Kepemimpinan Laissez Faire ditampilkan oleh seorang tokoh “Ketua Dewan” yang sebenarnya tidak becus mengurus dan dia menyerahkan semua tanggungjawab serta pekerjaan kepada bawahan atau kepada semua anggotanya.
Seorang pemimpin yang Laissez Faire melihat perannya sebagai “polisi lalu lintas” dengan anggapan para anggota organisasi mengetahui dan cukup dewasa untuk taat kepada peraturan permainan yang berlaku. Seorang pemimpin yang Laissez Faire cenderung memilih peranan yang pasif dan membiarkan organisasi berjalan menurut temponya sendiri tanpa banyak mencampuri bagaimana organisasi harus dijalankan dan digerakkan.


Ada beberapa ciri yang terdapat dalam diri pemimpin tersebut:
Dapat juga diartikan bahwa pemimpin laissez faire bukanlah seorang pemimpin dalam pengertian yang sebenarnya. Semua anggota yang dipimpinnya bersikap santai-santai, dan bermoto “lebih baik tidak usah bekerja saja”. Mereka menunjukkan sikap acuh tak acuh. Sehingga kelompok tersebut praktis menjadi tidak terbimbing dan tidak terkontrol. 1) Tidak yakin pada kemampuan sendiri
2) Tidak berani menetapkan tujuan untuk kelompok
3) Tidak berani menanggung resiko
4) Membatasi komunikasi dan hubungan kelompok

5.      Tipe Demokratik
Tipe kepemimpinan demokratis dapat juga disebut sebagai pemimpin yang partisipatif, selalu berkomunikasi dengan kelompok mengenai masalah-masalah yang menarik perhatian mereka dan mereka dapat menyumbangkan sesuatu untuk menyelesaikannya serta ikut serta dalam penetapan sasaran.
Pemimpin tipe ini, menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagai diktator, melainkan sebagai pemimpin di tengah-tengah anggota kelompoknya. Hubungan dengan anggota kelompok bukan sebagai majikan dan buruh, tetapi sebagai saudara tua di antara teman-temannya atau sebagai kakak terhadap saudara-saudaranya, ia selalu berpangkal pada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya, dan mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.
Dalam melaksanakan tugasnya, ia mau menerima dan mengharapkan saran-saran dari kelompoknya. Juga kritik-kritik yang membangun dari para anggota diterimanya sebagai umpan balik dan bahan pertimbangan dalam tindakan-tindakan berikutnya.
Adapun ciri pemimpin yang demokrat meliputi :
1) Membuat keputusan bersama dengan anggota kelompok
2) Selalu menjelaskan sebab-sebab keputusan yang dibuat sendiri kepada kelompok
3) Feed back dijadikan sebagai salah satu masukan yang berharga
4) Mengkritik dan memuji secara obyektif.
Menurut Imam Ghazali rahimahullah pernah menjelaskan, manusia itu ada empat jenis.
Pertama, manusia yang yadri wa yadri annahu yadri. Maksudnya, orang yang tahu dan dia tahu kalau dirinya itu tahu. Ini adalah jenis manusia yang paling baik. Jenis manusia yang memiliki kemapanan ilmu, dan dia tahu kalau dirinya itu berilmum, maka ia menggunakan ilmunya. Ia berusaha semaksimal mungkin agar ilmunya benar-benar bermanfaat bagi dirinya, orang sekitarnya, dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Dalam bahasa pakar  manajemen global, manusia jenis ini adalah manusia yang kreatif, selalu belajar, dan tidak berhenti berinovasi.
Manusia jenis ini adalah manusia unggul. Dalam bahasa Syaikh Muhammad Ahmad Al Rasyid, manusia jenis  inilah yang yang mampu merubah dunia kearah yang lebih baik, mereka layak menjadi pelopor “shina’atul hayah” atau “lifemaking”. Jumlah manusia jenis ini tidak banyak, tapi  keberadaan mereka menjadi nyawa bagi kehidupan umat manusia.
Konon, kemajuan Amerika Serikat dalam “bidang-bidang tertentu” ditentukan oleh pikiran-pikiran orang-orang pilihan, tak lebih dari lima puluh ribu orang. Mereka bukan orang yang suka mabuk-mabukan , dan juga bukan yang hidup glamor di Hollywood.
Mereka adalah para pemikir, para dosen dan peneliti, para pengamat politik dan ekonomi yang kredibel, para manajer perusahaan besar dan bank yang berpengaruh di dunia, para wakil komunikasi dalam dan luar negeri, para anggota dan mantan anggota kongres, tokoh-tokoh hakim dan pengacara, unsur-unsur mafia, para kepala sindikat, orang-orang di Gedung Putih sepuluh orang di Citibank dan Charter bank, sembilan orang di pusat Aramco, delapan orang di lobi-lobi bank dunia, tujuh orang pimpinan redaksi, dan enam orang ketua organisasi Yahudi  dan Fremansori. Selebihnya jutaan orang lainnya hidup di pinggir pentas peradaban Amerika.
Hal yang sama juga terjadi di Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, China, Jepang, India dan juga Indonesia.
Jenis kedua adalah manusia yang la yadri wa yadri annahu la yadri, manusia yang tidak tahu, tidak berlimu, dan dia menyadari kalau dirinya tidak berilmu. Menurut Imam Ghazali, jenis manusia ini masih tergolong baik. Sebab, ini jenis manusia yang bisa menyadari kekurangannnya. Ia bisa mengintropeksi diriya dan bisa menempatkan dirinya di tempat yang sepantasnya. Karena dia tahu dirinya tidak berilmu, maka dia belajar. Dengan belajar itu, sangat diharapkan suatu saat dia bisa berilmu dan tahu kalau dirinya berilmu. Meskipun tergolong baik, tapi ini bukan tipe manusia yang bisa membuat perubahan bagi lingkungannya. Sebab, tanpa ilmu pengetahuan yang cukup, maka manusia tidak bisa berinovasi. Baiknya, tipe manusia ini dengan kesadaran dan akal sehatnya tidak akan menghalangi sebuah proses perubahan kearah yang lebih baik. Dan manusia jenis kedua ini, dia tidak akan berani nekat memegang amanah yang ia rasa tidak memiliki kapasitas untuk memegangnya. Sebab ia tahu siapa dirinya.
Jenis ketiga, adalah manusia yang yadri wa yaladri annahu yadri, yaitu manusia yang tahu, tapi tidak tahu kalau dirinya tahu. Manusia yang memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari kalau dirinya memiliki ilmu dan kecakapan. Manusia jenis ini sering kita jumpai di sekeliling kita. Terkadang kita menemukan orang yang sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa, tapi ia tidak tahu kalau memiliki potensi.
Ada orang yang sudah puluhan tahun belajar di pesantren. Puluhan kitab telah ia khatamkan, tapi saat ia kembali ke tengah-tengah masyarakat, dia tidak mencerminkan sebagai orang yang berilmu. Apa yang dia pelajari seolah tidak seolah tidak ada bekasnya. Ia sama sekali tidak mau ikut andil memberantas kejahiliahan yang ada di sekelilingnya. Bahkan, ia diam saja ketika ada yang mengajarkan hal-hal yang sesat dan menyesatkan.
Manusia jenis ini menurut Imam Ghazali, perlu disadarkan. Karena ia telah menyia-nyiakan karunia yang diberikan Allah kepadanya. Padahal, karunia itu jika ia manfaatkan sunguh-sungguh akan menjadi sebab mengalirnya kebaikan bagi banyak orang.
Di negari ini, sering kali kita menemukan orang yang telah puluhan tahun belajar di dalam maupun luar negeri, ia bahkan menyandang gelar ilmiah paling tinggi, tapi ilmu yang ia pelajari tidak sama sekali ia amalkan. Ia bahkan bekerja di bidang yang bahkan kurang ia kuasai. Akibatnya bidang yang sebenarnya memerlukan spesialisasinya dinegeri ini tidak maju dan bidang yang ia garap karena bukan spesialisasi terbaiknya juga kurang maju. Banyak alasan yang menyebabkan fenomena ini terjadi, tapi tetap saja kondisi ini perlu dikoreksi, demi kemajuan umat dan negeri ini.
Jenis keempat, dan ini menurut Imam Ghazali, adalah jenis manusia yang paling buruk, yaitu manusia yang  la yadri wa la yadri annahu la yadri, yaitu orang yang tidak tahu tapi dia tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. Ini jenis manusia yang selalu merasa mengerti, selalu merasa tahu, selalu merasa memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu apa-apa. Repotnya manusia jenis seperti ini susah disadarkan, kalau diingatkan ia akan membantah sebaba ia merasa tahu atau merasa lebih tahu. Jenis manusia seperti ini, paling susah dicari kebaikannya.
Repotnya lagi dinegeri, jenis manusia seperti ini terlalu banyak bergentayangan. Pemilu wakil rakyat beberapa waktu yang lau adalah buktinya. Sejatinya menjadi wakil rakyat tidaklah mudah. Karena wakil rakyat jugalah yang membuat undang-undang misalnya harus cukup memiliki bekal ilmu hukum dan perundang-undangan. Namun, terbukti ratusan ribu orang merasa berhak menjadi wakil rakyat. Bahkan ada yang tidak pernah lulus sekolah dari manapun, hanya bisa baca tulis, ia mencalonkan jadi wakil rakyat. Ijazah yang menjadi syarat administrasi dimanipulasi. Dan ia merasa bisa menjadi wakil rakyat.
BAB III
TIPE KARAKTERISTIK
Menurut Douglas McGregor : Teori Perilaku Teori X dan Teori Y (X Y Behavior Theory)

Teori prilaku adalah teori yang menjelaskan bahwa suatu perilaku tertentu dapat membedakan pemimpin dan bukan pemimpin pada orang-orang. Konsep teori X dan Y dikemukakan oleh Douglas McGregor dalam buku The Human Side Enterprise di mana para pemimpin organisasi perusahaan memiliki dua jenis pandangan terhadap para pegawai atau karyawan, yaitu teori x atau teori y. Berikut penjelasan dari teori x dan y:
A. Teori X
Teori ini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk pemalas yang tidak suka bekerja serta senang menghindar dari pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pekerja memiliki ambisi yang kecil untuk mencapai tujuan perusahaan namun menginginkan balas jasa serta jaminan hidup yang tinggi. Dalam bekerja para pekerja harus terus diawasi, diancam serta diarahkan agar dapat bekerja sesuai dengan yang diinginkan perusahaan.
Teori X menyatakan bahwa sebagian besar orang-orang ini lebih suka diperintah, dan tidak tertarik akan rasa tanggung jawab serta menginginkan keamanan atas segalanya. Lebih lanjut menurut asumís teori X dari McGregor ini bahwa orang-orang ini pada hakekatnya adalah :
1. Tidak menyukai bekerja
2. Tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih menyukai diarahkan atau diperintah
3. Mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi masalah-masalah organisasi.
4. Hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan keamanan saja.
5. Harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mncapai tujuan organisasi..
Untuk menyadari kelemahan dari asumí teori X itu maka McGregor memberikan alternatif teori lain yang dinamakan teori Y.
B. Teori Y
Teori ini memiliki anggapan bahwa kerja adalah kodrat manusia seperti halnya kegiatan sehari-hari lainnya. Pekerja tidak perlu terlalu diawasi dan diancam secara ketat karena mereka memiliki pengendalian serta pengerahan diri untuk bekerja sesuai tujuan perusahaan. Pekerja memiliki kemampuan kreativitas, imajinasi, kepandaian serta memahami tanggung jawab dan prestasi atas pencapaian tujuan kerja. Pekerja juga tidak harus mengerahkan segala potensi diri yang dimiliki dalam bekerja.
Ini adalah salah satu teori kepemimpinan yang masih banyak penganutnya. Menurut McGregor, organisasi tradisional dengan ciri-cirinya yang sentralisasi dalam pengambilan keputusan, terumuskan dalam dua model yang dia namakan Theori X dan Teori.Y.
Teori Y ini menyatakan bahwa orang-orang pada hakekatnya tidak malas dan dapat dipercaya, tidak seperti yang diduga oleh teori X. Secara keseluruhan asumís teori Y mengenai manusia adalah sbb :
1)    Pekerjaan itu pada hakekatnya seperti bermain dapat memberikan kepuasan kepada orang. Keduanya bekerja dan bermain merupakan aktiva-aktiva fisik dan mental. Sehingga di antara keduanya tidak ada perbedaan, jika keadaan sama-sama menyenangkan.
2)    Manusia dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu tidak bisa dihindari dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi.
3)    Kemampuan untuk berkreativitas di dalam memecahkan persoalan-persoalan organisasi secara luas didistribusikan kepada seluruh karyawan.
4)    Motivasi tidak saja berlaku pada kebutuhan-kebutuhan sosial, penghargaan dan aktualisasi diri tetapi juga pada tingkat kebutuhan-kebutuhan fisiologi dan keamanan.
5)    Orang-orang dapat mengendalikan diri dan kreatif dalam bekerja jika dimotivasi secara tepat.
Dengan memahami asumsi dasar teori Y ini, McGregor menyatakan selanjutnya bahwa merupakan tugas yang penting bagi pemimpin untuk melepaskan tali pengendali dengan memberikan kesempatan mengembangkan potensi yang ada pada masing-masing individu (karyawan). Motivasi yang sesuai bagi orang-orang untuk mencapai tujuannya sendiri sebaik mungkin, dengan memberikan pengarahan usaha-usaha mereka untuk mencapai tujuan organisasi.
Pada sistem partisipan pada kepemimpinan menurut Rensis Linkert dimana pekerja berpartisipasi aktif dalam membuat keputusan. Disini pemimpin percaya sepenuhnya kepada bawahan dan mereka dapat membuat keputusan. Cara ini efektif untuk kelangsungan kerja dimana suara bawahan juga berpengaruh pada keputusan sang pemimpin. Sehingga bawahan merasa turut andil dam merasa bertanggung jawab sepenuhnya pada pekerjaan masing-masing sehingga tujuan organisasi bias tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Abror, Abd. Rahman, Kepemimpinan Pendidikan Bagi Perbaikan dan Peningkatan Pengajaran, terjemahan dari “Leadership for Improving Instruction”, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1984.http://aparaturnegara.bappenas.go.id/data/Kajian/Kajian-
Kartono, Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Rivai, Veithzal, Kiat Memimpin dalam Abad ke-21, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Uwes, Sanusi, ”Silabi Kepemimpinan Islam Dalam Pendidikan”
Siagian, Sindang P., Teori dan Praktek Kepemimpinan, Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Yusuf, Musfirotun, Manajemen Pendidikan Sebuah Pengantar, cetakan khusus.


MODEL-MODEL MANUSIA


MAKALAH
Diajukan pada Mata kuliah Kepemimpinan Islam Dalam Pendidikan
Dosen Pembimbing  : Prof.Dr. Sanusi Uwes


Program Studi  : Pendidikan Islam
Konsentrasi   : MPI




Disusun Oleh:
ANITA RAMDHANI






PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2010/2011