Selasa, 06 September 2011

DIKOTOMI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA


PENDAHULUAN
A.     Latar belakang
Sebuah realitas sejarah bahwa awal mula dari kemunduran Islam secara drastis, bermula dari menurunnya semangat orang Islam dalam memperdalam intelektualitas, sains, dan pengetahuan. Hal tersebut dikarenakan, pertama, penutupan pintu ijtihad dalam hal agama yang mengakibatkan pengekangan terhadap kreatifitas ilmuan-ilmuan muslim pada saat itu, sehingga seolah-olah Umat Islam selanjutnya hanya mempelajari temuan-temuan yang sudah ada, menerima apa adanya. Sehingga pengetahuan tentang keagamaan pada saat itu seolah bagaikan ukiran di atas batu yang disakralkan, dan tidak bisa dijamah-jamah lagi.
Kedua, Pendikotomian ilmu, yang memisahkan ilmu-ilmu agama dan non agama. Ilmu agama sendiri harus dan wajib dikuasai oleh setiap muslim, tetapi ilmu nonagama merupakan anak tiri yang cenderung diacuhkan. Keberadaannya dianggap pelengkap. Sehingga Umat Islam pada saat itu cenderung mendalami ilmu agama sehingga mengesampingkan ilmu non agama. Hal ini lah yang mengakibatkan Umat Islam terbelakang dalam hal sains dan teknologi, yang selanjutnya peradabannya juga terbelakang.  Menanggapi hal tersebut, ilmuan-ilmuan Muslim akhir abad ini berinisiatif untuk mengembalikan hakikat Pendidikan Islam yang di dalamnya tidak terdapat pendikotomian ilmu, sehingga tidak ada gap antara keduanya. Kemudian untuk mengejar ketinggalan terhadap Barat, mereka melanjutkan dengan islamisasi ilmu pengetahuan yang bersandarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Karena kalau diterima apa adanya, maka mau-tidak mau akan terjangkiti pendikotomian ilmu lagi. Kalau melihat sejarah dikotomi ilmu, bahwa dikotomi muncul pertama kali di Barat, maka semua pengetahuan yang ada sekarang (tentunya produk Barat) masih mengandung unsur dikotomik. Makanya perlu diadakan islamisasi.
B.     TUJUAN PENELITIAN
1.      Untuk mengetahui pengertian dikotomi pendidikan ?
2.      Untuk mengetahui tinjauan sejarah social dan politik dikotomi pendidikan di Indonesia?
3.      Untuk mengetahui dampak dikotomi terhadap perguruan tinggi islam?


BAB I
PROBLEMATIKA DIKOTOMI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
A.                 Pengertian Dikotomi Pendidikan
Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. (John M. Echols dan Hassan Shadily, "dichotomy", Kamus Inggris-Indonesia )(Jakarta : PT. Gramedia Utama, 1992), h. 180.
Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, "dikotomi", Kamus Besar Bahasa) Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), h. 205.
Secara terminologis, Ahmad Watik Pratiknya, mengatakan bahwa dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality). "Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di Indonesia", Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), h. 104.
Bagi Al- Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius dan kultural. Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka dikotomi pendidikan Islam adalah dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam  dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kqffah (menyeluruh). ('Penulis adalah Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, sekarang dosen tidak tetap pada Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari).
Meskipun dikotomi ini adalah problem kontemporer namun keberadaannya tentu tidak lepas dari proses historisitas yang panjang  sehingga bisa muncul sekarang ini.
B.                 Tinjauan Historis Dikotomi Pendidikan di Indonesia
Tidak ada yang menyangkal bahwa dikotomi dari sistem pendidikan di indonesia, yaitu pendidikan umum di satu pihak dan pendidikan agama dipihak lain adalah merupakan warisan dari zaman kolonial Belanda.
Orang-orang Belanda beserta keluarganya memerlukan pendidikan dan latihan baik mengenai pengetahuan umum maupun pengetahuan khusus tentang Indonesia, disamping itu VOC memerlukan juga tenaga-tenaga pembantu (murah) dari penduduk pribumi. Kepada mereka perlu diberikan pendidikan sedikitnya untuk menjalankan tugasnya. Hal ini juga dimaksudkan agar kekuasaan dan misionarisnya dapat berjalan dengan sukses dan lancar. Sudah barang tentu sekolah-seolah tersebut didirikan dengan berbagai kriteria dan variasinya secara diskriminatif yang bertujuan untuk mempertahankan perbedaan sosial, mengkristenkan masyarakat pribumi dan menjadikan rakyat sebagai pegawai atau pekerja kasar atau murahan Oleh karena itu, kalaulah pada akhirnya Belanda membuka kesempatan pendidikan bagi rakyat pribumi, tetapi tujuannya tidak lain membentuk kelas elit dan menyiapkan tenaga terdidik sebagai buruh rendah/kasar. Pendeknya pendidikan hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan perbedaan sosial, bukan untuk mobilitas sosial.
C.                  Tinjauan Politik Dikotomi Pendidikan di Indonesia
Pemerintah Belanda menerapkan pengawasan dan kontrol yang sangat ketat dan kaku, kontrol yang ketat ini dijadikan alat politik untuk menghambat dan bahkan menghalang-halangi pelaksanaan pendidikan Islam, dengan membentuk suatu badan yang khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesnterraden.
Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi pendidikan Islam adalah penerbitan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Tidak setiap orang, meskipun ahli ilmu agama, dapat mengajar di Lembaga-lembaga pendidikan. Dalam perkembangannya, Ordonansi Guru itu sendiri mengalami perubahan dari keharusan guru agama mendapatkan surat izin menjadi keharusan guru agama itu cukup melapor dan memberitahu saja. Peraturan ini mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam, Al-Irsyad, Nahdatul Watan dan lain-lain. Pada tahun-tahun itu memang sudah terasa adanya ketakutan dari pemerintah Belanda terhadap kebangkitan pribumi. Pada satu sisi kebijakan tersebut melahirkan kondisi psikologis “sebagai warga kelas dua” dikalangan muslim. (Rusydi: Wacana dikotomi ilmu daiam Pendidikan Islam dan Pensaruhnya
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, "dikotomi", Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).

D.                 Pendidikan di Indonesia Merupakan Kebijakan Pemerintah
Kondisi dikotomi ini  diperparah oleh kenyataan lahirnya pengelompokkan sosial masyarakat Indonesia sebagai produk dari dualitas sistem pendidikan dan peradilan, yaitu disatu pihak adalah kelompok muslim yang merasa perlu terus memperjuangkan aspirasi dan kepentingan keagamaannya dalam proses kehidupan bernegara. Dilain pihak adalah kelompok yang merupakan produk dari sistem pendidikan Barat di sekolah-sekolah Belanda yang mempunyai pandangan “sekuler” atau netral terhadap agama, bahwa agama merupakan urusan pribadi yang terpisah dari urusan publik dan urusan agama. kebijakan yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih berlanjut pada masa penjajahan Jepang. Walaupun diakui lebih memberikan kebebasan daripada penjajahan Belanda, tetapi kebijakan dasar pemerintahan penjajahan Jepang berorientasi pada penguatan kekusasaannya di Indonesia, dan pendidikan Islam di zaman Jepang adalah sebuah usaha untuk membantu kelangsungan perang Asia Timur Raya, Sehingga eksploitasi kemanusiaan benar-benar terjadi. Untuk memperoleh dukungan dari umat Islam, pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan yang menawarkan bantuan dana bagi sekolah dan madrasah. Selain itu untuk mengamankan kepentingannya, pemerintah Jepang banyak mengangkat kalangan priyayi dalam jabatan-jabatan di Kantor Urusan Agama, yang bertugas antara lain mengorganisasikan pertemuan dan pembinaan guru-guru agama. Meskipun dengan alasan pembinaan kecakapan, tetapi usaha itu pada dasarnya bertujuan agar pelaksanaan pendidikan Islam baik di madrasah maupun pesantren tetap dalam kontrol pemerintah.
Kebijakan negara di bidang pendidikan merupakan produk dari sebuah proses politik yang melibatkan berbagai elemen politik yang ada di lembaga legislatif dan eksekutif. Mereka yang terlibat di dalam proses pengambilan kebijakan negara dan keputusan politik adalah orang-orang yang diberi mandat untuk mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat dan masyarakat luas. Sebagai produk dari keputusan politik, kebijakan negara di bidang pendidikan merupakan cermin dari  politik pendidikan nasional yang memberikan implikasi terhadap sistem, kelembagaan, kurikulum dan proses pendidikan.
Pada masa-masa awal kemerdekaan, Indonesia mengembangkan lembaga pendidikan persekolahan sebagai mainstraim sistem pendidikan nasional. Secara pragmatis, hal ini dilakukan agaknya karena pengelolaan pendidikan yang diwariskan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian pergumulan antara sistem pendidikan ‘nasional dengan sistem pendidikan Islam pun terus berlangsung.Secara operasional, persoalan dualisme dan dikotomi pendidikan tersebut membawa dampak berupa pengelolaan pendidikan nasional yang tidak punya dasar pijakan yang jelas. Hal ini terjadi karena dalam pelaksanaannya pemerintah Indonesia menganut pola kolonialisme Belanda, juga merupakan refleksi dari pergumulan dua basis politik, Islam dan Nasionalisme, yang sejak awal kemerdekaan tidak bisa dielakkan.
Ketika undang-undang pendidikan nasional pertama yaitu, UU No. 4 Tahun 1950 (tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah) diundangkan, madrasah dan pesantren sebagai pendidikan Islam tidak dimasukan sama sekali ke dalam sistem pendidikan nasional, yang ada hanya masalah pendidikan agama yang diajarkan di sekolah (umum) , pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sistem dari sistem pendidikan nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan di bawah Menteri Agama. Menurut pemerintah hal ini disebabkan karena sistem pendidikan Islam lebih didominasi oleh muatan-muatan agama, yang menggunakan kurikulum belum terstandarkan, memiliki struktur yang tidak seragam, dan memberlakukan manajemen yang kurang dapat dikontrol oleh pemerintah. Masalah kurikulum merupakan salah satu pertimbangan dalam pemberian pengakuan pemerintah terhadap sekolah agama, sebab sekolah agama dan lembaga pendidikan Islam umumnya lebih memfokuskan kurikulumnya pada tafaqqahu fiddin, yang difokuskan pada bidang keislaman. Masalah kurikulum pendidikan ini yang menjadi salah satu pembeda sistem pendidikan yang berlangsung. Disamping itu administrasi berupa pengaturan dan pengawasan pendidikan oleh dua departemen yang berbeda, yaitu departemen pendidikan nasional dan departemen agama juga menjadi faktor pembeda yang lain. Pada tahun 1974, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang kewenangan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan di bawah satu pintu, yaitu oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pendidikan agama. Keputusan itu diikuti oleh Inpres No. 15 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden tersebut. Ternyata keputusan ini mendapat tantangan keras dari kalangan Islam. Alasannya bahwa dengan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional memang madrasah akan mendapat status yang sama dengan sekolah, tetapi dengan status ini terdapat kongkurensi bahwa madrasah harus dikelola oleh Depdikbud sebagai satu-satunya departemen yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional. Mereka lebih menghendaki madrasah tetap berada di bawah Departemen Agama.
Bahkan sebagian umat Islam memandang Kepres dan Inpres tersebut sebagai manuver untuk mengabaikan peranan dan manfaat madrasah, juga dipandang sebagai langkah untuk mengebiri tugas dan peranan Departemen Agama dan bagian dari upaya sekulerisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru. Hal ini cukup beralasan dikaitkan dengan setting sosial politik yang berlangsung pada awal pemerintah Orde Baru yang menerapkan kebijakan politik yang memarjinalkan politik Islam melalui pengebirian partai politik Islam.
Munculnya reaksi keras dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru. Pemerintah kemudian mengambil kebijakan yang lebih operasional dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada tanggal 24 Maret 1975, yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama yaitu No. 6 Tahun 1975; No. 037/U/1975; dan No. 36 Tahun 1975. Inti dari ketetapan dari SKB Tiga Menteri ini adalah ; (1) agar madrasah untuk semua jenjang dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat; (2) agar lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih atas; (3) agar siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, maka kurikulum yang diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70% mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama.           
Sebagai realisasi dari SKB Tiga Menteri itu, maka pada tahun 1976 Departemen Agama mengeluarkan kurikulum yang menjadi acuan oleh madrasah, baik untuk MI, MTs, maupun Madrasah Aliyah. Dengan diberlakukannya kurikulum standar yang menjadi acuan, berarti telah terjadi keseragaman dalam bidang studi agama, baik kualitas maupun kuantitasnya. Kemudian adanya pengakuan persamaan yang sepenuhnya antara madrasah dengan sekolah-sekolah umum setaraf, serta madrasah akan mampu berperan sebagai lembaga pendidikan yang memenuhi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mampu berpacu dengan sekolah-sekolah umum dalam rangka mencapai tujuan nasional.
Kemudian pada tahun 1984 dikeluarkan SKB dua menteri antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama Nomor 299/U/1984 dan Nomor 45 tahun 1984 tentang pengaturan pembakuan kurikulum sekolah umum dan kurikulum madrasah. SKB ini dijiwai oleh ketetapan MPR Nomor II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang, antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu diantara berbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah.
Namun hasil dari SKB ini belum memuaskan, Secara intelektual, persoalan muncul dengan adanya dikotomisasi kurikulum, yakni kurikulum umum dan kurikulum agama. Akibatnya, terjadi pula dikotomisasi kelulusan antar dua lembaga. Lebih parah lagi ditinjau dari sisi keahlian, adanya dikotomisasi itu seakan-akan telah menciptakan label Islam dan label non-Islam terhadap kelulusan pendidikannya. Selain itu karena masih sering lulusan madrasah mendapat perlakuan diskriminatif karena dianggap kemampuan umumnya belum setara dengan sekolah umum. Ketika masuk ke perguruan tinggi atau ke dunia kerja perlakuan diskriminatif tersebut sangat dirasakan oleh lulusan madrasah sebagai produk pendidikan Islam.
BAB II
IAIN SEBAGAI PRODUK DIKOTOMI PENDIDIKAN ISLAM

A.                 Sejarah Sosio Historis perubahan  IAIN menjadi UIN
Sebagaimana yang dituliskan oleh Atho Mudzhar Kehadiran IAIN di tengah masyarakat pada dasamya merupakan perwujudan dari suatu cita-cita yang telah lama terkandung di hati sanubari umat Islam Indonesia. Hasrat untuk mendirikan semacam lembaga pendidikan tinggi Islam itu bahkan sudah dirintis sejak zaman penjajahan.
Dr. Satiman Wirjosandjoyo dalam Pedoman Masyarakat No, 15 Tahun IV (1938) pemah melontarkan gagasan pentingnya sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam dalam upaya mengangkat harga diri kaum Muslim di tanah Hindia Belanda yang terjajah itu. Dikatakan oleh Satiman antara lain bahwa sewaktu Indonesia masih tidur, onderwijs (pengajaran) agama di pesantren mencukupi keperluan umum. Akan tetapi setelah Indonesia bangun, maka diperlukan adanya sekolah tinggi agama. Apalagi dengan kedatangan kaum Kristen yang banyak mendirikan sekolah dengan biaya rendah dan dikelola oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi, maka keperluan akan adanya sekolah tinggi agama Islam itu semakin terasakan lagi dan kalau tidak, pengaruh Islam akan semakin kecil, Demikian alasan Satiman.
Gagasan tersebut terwujud tepatnya tanggal 8 Juli 1946 ketika Sekolah Tinggi Islam (STI) berdiri di Jakarta di bawah pimpinan Prof. Abdul Kahar Muzakkir, sebagai realisasi kerja sebuah yayasan (Badan Pengurus Sekolah Tinggi Islam) yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua dan M. Natsir sebagai sekretaris. Kemudian pada masa revolusi STI ikut Pemerintah Pusat Republik Indonesia hijrah ke Yogyakarta dan pada tanggal 10 April 1946 dapat dibuka kembali di kota itu. Selanjutnya, pada November 1947 dibentuk Panitia Perbaikan STI, yang dalam sidangnya sepakat mendirikan Universitas Islam Indonesia (UII) pada 10 Maret 1948 dengan empat fakultas: Agama, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Pada 20 Februari 1951 Perguruan Tinggi Islam Indonesia yang berdiri di Surakarta pada 22 Januari 1950, bergabung dengan UII yang berkedudukan di Yogyakarta. ("Sejarah Singkat IAIN", dalam http://ww w.ditpertais.net/ttgiain.asp.)
Oleh karena Yogyakarta dikenal sebagai kota revolusi maka pemerintah berinisiatif memberikan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1949 tanggal 16 Desember 1949 kepada golongan nasionalis. Sementara itu, kepada golongan Islam diberikan Perguman Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), yang diambil dari Fakultas Agama UII berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1950. Sementara di Jakarta, enam tahun kemudian berdiri pula Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) pada 14 Agustus 1957 berdasarkan Penetapan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1957. Dalam rangka menjadikan PTAIN Yogyakarta dan ADIA Jakarta lebih memenuhi kebutuhan umat Islam akan pendidikan tinggi Agama Islam, dikeluarkanlah Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 1960 tentang pembentukan Institut Agama Islam Negeri. Menurut dokumen ini, penggabungan itu diberi nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) "al-Jami'ah al-Islamiyah al- Hukumiyah" yang berkedudukan di Yogyakarta, dengan PTAIN Yogyakarta sebagai Induk dan ADIA Jakarta sebagai fakultas dari Institut baru tersebut IAIN ini akhimya diresmikan pada 24 Agustus 1960 di Yogyakarta oleh Menteri Agama, K. H. Wahib Wahab.
Akhimya sampai  dengan akhir 1970 di Indonesia telah berdiri 14 Institut Agama Islam Negeri, yang masing-masing diberi nama sesuai dengan nama para mujahid yang berjuang di daerah IAIN tersebut.
Oleh karena asal mula berdirinya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) lebih ditentukan oleh pertimbangan politis, yaitu, kalau Universitas Gajah Mada merupakan hadiah kepada para nasionalis, maka IAIN Yogyakarta merupakan hadiah kepada kelompok Islam "politik" atau santri, sebagaimana diuraikan sebelumnya. Oleh karena itulah ciri utama kelembagaan IAIN lebih berorientasi ke dunia Timur Tengah, khususnya ke Mesir dengan pusat keilmuan Universitas Al-Azharnya, dan tidak ke dunia Barat. Konsekuensinya, nama fakultas dan "gaya" kerjanyajuga berorientasi ke Al-Azhar, yakni fakultas-fakultas Syari'ah, Ushuluddin, Dakwah, Tarbiyah dan Adab, meskipun tidak setiap IAIN mempunyai kelima fakultas tersebut. Dalam kenyataan, sampai kini tidak ada satu IAIN pun yang mempunyai nama fakultas selain lima tersebut, meskipun program studinya ada yang sudah berkembang dan tidak pasti selalu sama.
Fakultas-fakultas tersebut, menurut Qodri Azizy, tidak berkembang dengan baik dan ini menunjukan terjadinya kemandegan Perguruan Tinggi IAIN, suatu kenyataan yang seharusnya tidak terjadi pada tradisi identitas Perguruan Tinggi di negara maju. Kemandegan tersebut menurutnya juga mengindikasikan kemandegan tradisi keilmuan di IAIN, dan kekakuan aturan yang telah menjadi "dogma". Lebih lanjut, kemandekan keilmuan ini terlihat jelas lagi dari segi esensi atau materi keilmuan yang diajarkan di IAIN itu sendiri, terutama sekali untuk tingkat S-1. Dua hal ini menjadi tanda yang kongkrit keterbelakangan IAIN yang tidak akan mampu menghadapi abad ke 21. ("A. Qodri Azizy, "Pengembangan Stmktur Kafakultasan IAIN", dalam http://www. ditpertais.net/artikel/godriOl.asp)
 Dengan kata lain, IAIN masih tertinggal jauh dalam ilmu-ilmu umum (teknologi), dan ini mengindikasikan bahwa meskipun dalam perkembangannya IAIN ada mengajarkan beberapa ilmu umum tetapi tidaklah begitu aktual dan belum mampu bersaing, padahal persaingan global semakin ketat. Contoh di lapangan, ketika penerimaan untuk ilmu ilmu umum seperti B. Inggris atau matematika ya ng sama-sama ada diajarkan di perguruan tinggi umum dan Islam, orang sepertinya lebih percaya kualitas dari alumni atau lulusan perguruan umum daripada perguruan Islam.
Oleh karena itulah gejala kontemporer menunjukkan adanya berbagai pembenahan dalam IAIN, baik dari segi konsep keilmuan, metodologi, teknik belajar-mengajar dan lain sebagainya. Upaya pembenahan ini menggiring IAIN kepada perubahan nama yang lazimnya disebut dengan UIN (Universitas Islam Negeri). Dalam keputusan presiden Nomor 50 tahun 2004, tujuan dibentuknya UIN ini adalah upaya menyatukan antara ilmu umum dan ilmu agama, yang masih belum bisadirealisasikan oleh perguruan tinggi Islam di saat bemama IAIN, sebagaimana yang diungkapkan dalam keputusan berikut ini:
Bahwa  dalam rangka memenuhi tuntutan perkembangan ilmu Penge tahuan serta proses integrasi antara bidang ilmu agama Islam dengan bidang ilmu umum, dipandang perlu menetapkan Keputusan Presiden tentang Perubahan Institut Agama Islam Negeri Sunan KaliJaga Yogyakarta menjadi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malang menjadi Universitas Islam Negeri Malang. Saat ini di Indonesia baru mempunyai tiga UIN yakni UIN Syarif Hidayatullah di Jakarta sebagai perkembangan dari IAIN SyarifHidayatullah, UIN Malang sebagai perkembangan dari STAIN Malang dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai perkembangan dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Masih minimnya dan mudanya umur UIN ini akan  masih belum mampu menunjukkan hasilnya, apakah sudah mampu memenuhi tuntutan penyatuan ilmu umum dan agama atau tidak. Oleh karena itulah wacana integrasi ilmu ini harus terus diaktualkan terutama di perguman Islam tingkat lokal seperti di Kalimantan Selatan ini, agar bisa cepat tanggap dengan adanya berbagai problem di IAIN Antasari sekaligus berupaya membenahinya, dengan perspektif historis-kultural masyarakat Banjar tanpa harus "membebek" kepada UIN yang sedang berkembang di atas sehingga IAIN Antasari jika memang ada upaya menyatukan ilmu umum dan agama tersebut sudah memiliki kesiapan dan memiliki konsep keilmuan yang khas dan unik.

B.                 Pandangan Prof. Dr. Azyumardi Azra tentang IAIN (UIN) di masa sekarang
Sebagai lembaga akademik, kendati IAIN terbatas memberikan pendidikan Islam kepada mahasiswanya, tetapi Islam yang diajarkan adalah Islam yang liberal. IAIN tidak mengajarkan fanatisme mazhab atau tokoh Islam, melainkan mengkaji semua mazhab dan tokoh Islam tersebut dengan kerangka, perspektif dan metodologi modern. Untuk menunjang itu, mahasiswa IAIN pun diajak mengkaji agama-agama lain selain Islam secara fair, terbuka, dan tanpa prasangka. Ilmu perbandingan agama menjadi mata kuliah pokok mahasiswa IAIN.”
“Jika di pesantren mereka memahami dikotomi ilmu: Ilmu Islam (naqliyah dan ilmu keagamaan) dan ilmu umum (sekuler dan duniawiah), maka di IAIN merekadisadarkan bahwa hal itu tidak ada. Di IAIN mereka bisa memahami bahwa belajar sosiologi, antropologi, sejarah, psikologi, sama pentingnya dengan belajar ilmu Tafsir al-Quran. Bahkan ilmu itu bisa berguna untuk memperkaya pemahaman mereka tentang tafsir. Tetapi, IAIN tidak mengajarkan apa yang sering disebut dengan “islamisasi ilmu pengetahuan” sebab semua ilmu yang ada di dunia ini itu sama status dan arti pentingnya bagi kehidupan manusia.”
Itulah pernyataan Prof. Dr. Azyumardi Azra saat menjabat sebagai Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Pernyataan itu dimuat dalam buku IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia (2002, hal. 117), yang diterbitkan atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama.
Pengakuan Profesor Azyumardi Azra tentang corak liberal dan liberalisasi pendidikan Islam di IAIN itu tentu saja menarik untuk kita simak, sebab disampaikan bukan dengan nada penyesalan, tetapi justru dengan nada kebanggaan. IAIN merasa bangga, sebab sudah berhasil mengubah banyakn mahasiswanya yang kebanyakan berbasis pesantren/madrasah menjadi mahasiswa atau sarjana-sarjana liberal.
Ditulis dalam buku ini:
”Model studi Islam tersebut membuka wawasan mahasiswa IAIN yang pada umumnya berbasis pesantren dan madrasah. Memang, pada tahun-tahun pertama studi di IAIN, sebagian mahasiswa yang telah terdidik dengan budaya pengkajian Islam pesantren mengalami goncangan. Tetapi setelah itu umumnya bisa memahami arti penting model studi Islam di IAIN. Selain itu dalam pengamatan Azyumardi, liberalisasi studi Islam di IAIN juga telah mengubah caara pandang mahasiswa umumnya terhadap ilmu.” (hal. 117).
Saya tidak ingin berkomentar terlalu jauh terhadap pernyataan Prof. Azyumardi atau fakta-fakta liberalisasi IAIN yang dipaparkan oleh para aktor utamanya di perguruan tinggi Islam. Pada catatan-catatan sebelumnya, kita sudah sering membahas masalah ini. Karena masalah ini teramat sangat penting bagi masa depan pendidikan Islam dan bahkan masa depan umat Islam di Indonesia, ada baiknya kita simak kembali sejumlah pemaparan tentang proses liberalisasi IAIN, sebagaimana diuraikan dalam buku tersebut.
Proses liberalisasi itu dimulai dari pulangnya para kafilah yang menimba ilmu di Institute of Islamic Studies of McGill University. Mereka mendapat didikan dari profesor-profesor Islamic Studies kenamaan semisal Charles J. Adam, pakar dalam sejarah Islam; Wilfred Cantwell Smith, pakar sejarah peradaban Islam dan perbandingan agama; N. Barkes, ahli Turki dan sekularisasi di dunia Muslim, Herman Landolt, pakar filsafat, sufism, dan Syiah; Wael Hallaq, pakar hukum Islam, dan sebagainya. ”Para alumni McGill ini, dengan latar belakang dan keahlian yang berbeda, pada gilirannya memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam pengembangan wacana akademik kajian keislaman dan dunia birokrasi di tanah air.” (hal. vii-viii).
Dijelaskan juga dalam buku ini, bahwa IAIN kini sudah berubah, dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis.
“IAIN mulanya dimaknai sebagai lembaga dakwah Islam yang bertanggung jawab terhadap syiar agama di masyarakat. Sehingga orientasi kepentingannya lebih difokuskan pada pertimbangan-pertimbangan dakwah. Tentu saja orientasi ini tidaklah keliru. Hanya saja, menjadikan IAIN sebagai lembaga dakwah pada dasarnya telah mengurangi peran yang semestinya lebih ditonjolkan, yaitu sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam.
Karena IAIN sebagai lembaga akademis, maka tuntutan dan tanggung jawab yang dipikul oleh IAIN adalah tanggung jawab akademis ilmiah.” (hal. x).
Perubahan status IAIN dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis, memang dilandasi dengan perubahan metodologi studi Islam, dari metode para ulama menjadi metode para orientalis, seperti diungkapkan oleh buku ini:
“Salah satu yang menonjol adalah tradisi keilmuan yang dibawa pulang oleh kafilah IAIN (dan STAIN) dari studi mereka di McGill University secara khusus dan universitas-universitas lain di Barat secara umum. Berbeda dengan tradisi keilmuan yang dikembangkan oleh jaringan ulama yang mempunyai kecenderungan untuk mengikuti dan menyebarkan pemikiran ulama gurunya, tradisi keilmuan Barat, kalau boleh dikatakan begitu, lebih membawa pulang metodologi maupun pendekatan dari sebuah pemikiran tertentu. Sehingga mereka justru bisa lebih kritis sekalipun terhadap pikiran profesor-profesor mereka sendiri. Disamping aspek metodologis itu, pendekatan sosial empiris dalam studi agama juga dikembangkan.” (hal. xi)
BAB II
DAMPAK DIKOTOMI ILMU BAGI UMAT ISLAM
Dua orang anak muda yang baru lulus dari sebuah perguruan tinggi Islam bersama-bersama berangkat ke perpustakaan daerah untuk mencari koran gratis agar bisa mendapatkan informasi lowongan kerja. Sesampainya di perpustakaan, mereka pun langsung mengambil dan membolak-balik koran-koran yang ada. "Perusahaan Distributor Consumer Goods Nasional Besar Membutuhkan segera Chief Accounting (CA), Usia 27 Tahun, Pendidikan minimal Sl Accounting". "We are seeking qualified and highly motivated people to fill the position with the following requirements : Mechanical Engineering Manager". Berlembar-lembar koran lama dan baru dibolak balik tetapi posisi yang diberikan selalu untuk lulusan perguruan Tinggi umum. Akhimya, mereka pun kelelahan dan salah satu dari merekabergumam "sulitjuga ya cari pekerjaan yang pas dan bergengsi buat lulusan  seperti kita ini dibanding mereka yang lulus dari perguruan umum", sang kawan pun menjawab "betui juga, padahal andai aku dulu menuruti sarankakakku untuk kuliah di perguruan Tinggi umum dan mengembangkan kemampuan kimiaku, mungkin aku sekarang sudah bekerja di perusaahan yang sama seperti kakakku". Dengan langkah yang agak gontai merekapun beranjak pulang.
Fenomena di atas hanyalah bagian kecil dari dampak adanya dikotomi keilmuan dalam pendidikan Islam. Kesulitan para lulusan perguruan Tinggi Islam untuk mencari kerja sudah cukup dimaklumi. Mahasiswa perguruan Islam yang tidak dilengkapi dengan kemampuan yang kreatif selain ilmu-ilmu agama tidak mampu bersaing dengan para mahasiswa lulusan umum, terutama dalam lahan persaingan kerja. Adanya dikotomi ini juga telah melahirkan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lemah dalam ranah metodologi. Malik Fajar menyatakn bahwa pesantren memiliki tradisi yang kuat dalam transmisi keilmuan Islam klasik namun karena kurangnya improvisasi metodologi maka akhimya transmisi tersebut hanya memunculkan penumpukan keilmuan, bahkan muncul anggapan bahwa ilmu tidak perlu ditambah lagi atau sudah mencapai fmalnya dan ini mengindikasikan lemahnya kreatifitasumat. ("Malik Fajar, "Sintesa Antara Perguruan Tinggi dan Pesantren", Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren (Jakarta : Paramadina, 1997), h. 114.) 
Lemahnya daya kreatifitas dan metodologi ini akhimya mengarahkan kepada pola belajar-mengajar yang lazimnya disebut Paulo Freire dengan banking concept of education (konsep pendidika ala bank). Anak didik dijadikan sebagai banking, tempat menamh investasi, disuplai, sehingga mereka tidak memikirkan apa-apa lagi. Dan sangat minim pembentukan anak didik yang diposisikan kepada belajar-mengajar problem posing of education yakni menawarkan persoalan-persoalan yang problematis dan menuntut anak didik berpikir kreatif dan  memecahkannya.
Oleh Paulo Freire, konsep pendidikan gaya bank memandang manusia sebagai makhluk yang dapat disamakan dengan benda dan gampang diatur, semakin banyak anak didik menyimpan tabungan yang dititipkan maka semakin kurang mereka mengembangkan kesadaran kritis yang dapat mereka peroleh dari keterlibatan di dunia sebagai pengubah dunia tersebut. Jadi konsekuensinya cara belajar-mengajar seperti ini selain mematikan kreatifitas juga mampu menciptakan dikotomi antara dunia dan manusia, manusia (anak) semata-mata ada di dunia bukan bersama dunia, manusia hanyalah penonton bukan pencipta.44Cara berpikir normatif dan doktrinal juga membentuk cara penyampaian keilmuan yang monoton dan monolog bukan bersifat dialog dan komunikatif. Metode yang menjadikan satu orang total sebagai sumber wacana dan menjadikan yang lain sebagai sesuatu yang pasif, pada akhimya mampu membentuk budaya ketergantungan, sementara budaya ketergantungan mampu menciptakan budaya suap-menyuap, dan ini tentu berefek kepada kebobrokan moral bangsa. (Ayumardi Azra, "Rekonstruksi Kritis Ilmu dan Pendidikan Islam", Munir Mulkhan et. at., Religiusitas IPTEK (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 85-86.)
Dampak dikotomi keilmuan ini juga diungkapkan oleh M. Iqbal bahwa seorang anak muslim hasil didikan masa klasik bingung menghadapi  realitas sejarah yang tidak dapat dipahaminya. Perlengkapan intelektualnya terlalu minim untuk mampu bergumul dengan realitas yang mencekam. Dan yang lebih parah lagi pola belajar-mengajar doktriner dan normatif yang biasa dikembangkan pada wilayah agama bias menghilangkan daya tarik terhadap kajian keagamaan itu sendiri sebab dengan cara itu para pengkaji tidak perlu lagi menelaah dan meneliti agama itu dikarenakan mereka sudah tahu jawaban-jawaban yang akan diberikan yang mungkin telah mereka peroleh sebelumnya dari berbagai forum pengajian,Dikotomi keilmuan dalam pendidikan Islam ini bisa juga berefek pada wilayah politik. Sebagaimana maklum di Indonesia bisa ditemukan antara partai politik yang cenderung nasionalis dan Islamis. Keduanya cenderung  untuk saling menegasikan dan berebut kekuasaan bukan saling merangkul dan saling bekerjasama untuk membangun negeri ini. Singkatnya, dikotomi keilmuan ini betul-betui memberikan dampak yang sangat signifikan dalam kehidupan umat Islam. Oleh karena pandangan dasar serta produk pemikiran (pendidikan) umat Islam terpecah belah maka cara hidup dan tingkah laku masyarakat Islam pun menjadi terpecah belah, sulit untuk bersatu, mudah dipermainkan oleh yang lain, serta sering tertinggal dalam persaingan peradaban. Mungkinkah ini yang dimaksud dengan peringatan Nabi Muhammad SAW dulu bahwa suatu masa nanti umat Islam sangat banyak namun mereka hanya seperti buih yang mudah diombang-ambingkan oleh gelombang.










BAB III
KESIMPULAN

1.     Dikotomi adalah dualisme religius dan kultural. Dengan pemaknaan dikotomi di atas, maka dikotomi pendidikan Islam adalah dualisme sistem pendidikan antara pendidikan agama Islam  dan pendidikan umum yang memisahkan kesadaran keagamaan dan ilmu pengetahuan. Dualisme ini, bukan hanya pada dataran pemilahan tetapi masuk pada wilayah pemisahan. Sistem pendidikan yang dikotomik pada pendidikan Islam akan menyebabkan pecahnya peradaban Islam dan akan menafikan peradaban Islam yang kqffah (menyeluruh).
2.      Tidak ada yang menyangkal bahwa dikotomi dari sistem pendidikan di indonesia, yaitu pendidikan umum di satu pihak dan pendidikan agama dipihak lain adalah merupakan warisan dari zaman kolonial Belanda.
3.     Kondisi dikotomi ini  diperparah oleh kenyataan lahirnya pengelompokkan sosial masyarakat Indonesia sebagai produk dari dualitas sistem pendidikan dan peradilan, yaitu disatu pihak adalah kelompok muslim yang merasa perlu terus memperjuangkan aspirasi dan kepentingan keagamaannya dalam proses kehidupan bernegara. Dilain pihak adalah kelompok yang merupakan produk dari sistem pendidikan Barat di sekolah-sekolah Belanda yang mempunyai pandangan “sekuler” atau netral terhadap agama, bahwa agama merupakan urusan pribadi yang terpisah dari urusan publik dan urusan agama.
4.      Orde Baru. Pemerintah kemudian mengambil kebijakan yang lebih operasional dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) pada tanggal 24 Maret 1975, yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama yaitu No. 6 Tahun 1975; No. 037/U/1975; dan No. 36 Tahun 1975. Inti dari ketetapan dari SKB Tiga Menteri ini adalah ; (1) agar madrasah untuk semua jenjang dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat; (2) agar lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih atas; (3) agar siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, maka kurikulum yang diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70% mata pelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama.           
5.      ilmuan-ilmuan Muslim akhir abad ini berinisiatif untuk mengembalikan hakikat Pendidikan Islam yang di dalamnya tidak terdapat pendikotomian ilmu, sehingga tidak ada gap antara keduanya. Kemudian untuk mengejar ketinggalan terhadap Barat, mereka melanjutkan dengan islamisasi ilmu pengetahuan yang bersandarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Karena kalau diterima apa adanya, maka mau-tidak mau akan terjangkiti pendikotomian ilmu lagi. Kalau melihat sejarah dikotomi ilmu, bahwa dikotomi muncul pertama kali di Barat, maka semua pengetahuan yang ada sekarang (tentunya produk Barat) masih mengandung unsur dikotomik. Makanya perlu diadakan islamisasi.


























DAFTAR PUSTAKA
AI-Faruqi, Isma'il Raji, Islamization of Knowledge : General Principles and
Workplan Hemdon : HIT, 1982)
Alimi, Anas Syahru, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia :
Sebuah Rekonstruksi Pemikiran Prof. Dr. DJohar, (Yogyakarta: IKIP
Yogyakarta Bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1999).
Anonim, "Sejarah Singkat IAIN", dalam http://www.ditpertais.net/ ttgiain.asp.
Arifin, Syamsul, "Kritik Isma'il Raji al-Faruqi Terhadap Fenomena Dikotomi
Pendidikan Islam", Tesis, (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri, 1997).
Azizy, A. Qodri, "Pengembangan Struktur Kafakultasan IAIN", dalam
http://www.ditpertais.net/artikel/qodri01 .asp
Azra, Azyumardi, "Rekonstruksi K-ritis Ilmu dan Pendidikan Islam", Munir
Mulkhan et. al., Religiusitas IPTEK, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1998).
AL-BANJARI Vol. 5, No. 9, Januari - Juni 2006 49
M. Rusvdi: Wacana dikotomi ilmu daiam Pendidikan Islam dan Pensaruhnya
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, "dikotomi", Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
Echols, John M, dan Hassan Shadily, "dichotomy", Kamus Inggris-Indonesia,
(Jakarta ; PT. Gramedia Utama, 1992).
Fajar, Malik, "Sintesa Antara Perguruan Tinggi dan Pesantren", Nurcholish
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta; Paramadina, 1997).
Freire, Poulo, Pedagogy of the Oppressed, diterj. Oleh Utomo Danajaya et, at.,
Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: LP3ES, 1985).
Khoiri, Imam, Formasi Nalar Arab, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003).
Ma'arif, A. Syafli, Peta Bumi Intelekt-ualisme Islam di Indonesia, {Bandung:,
Mizan, 1993).
Mulkhan, Abdul Munir "Dilema Madrasah antara Dua Dunia", Koran K-ompas,
Jum'at, 23 Nopember 2001.
Sudjangi, "Madrasah dan Perkembangannya", dalam Sudjangi (Penyutmg), Kajian
Agama dan Masyarakat, (Jakarta; Departemen Agama RI, 1992/1993).
Surat Keputusan Presiden ini bisa dilihat secara lengkap dalam situs
http://www.ri.go.id/produk uu/produk2004/kp2004/kp50'04.htm
Usa, Muslih, (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991).
50 AL-BANJARI Vol. 5, No. 9, Januari - Juni 2006



















PROBLEMATIKA DIKOTOMI PENDIDIKAN DI INDONESIA

TUGAS UAS
Diajukan pada Mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam


Program Studi  : Pendidikan Islam
Konsentrasi   : MPI

Disusun Oleh:
ANITA RAMDHANI








PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2010/2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

semoga bermanfaat.......