Selasa, 06 September 2011

DINASTI-DINASTI KECIL DI BARAT DAN TIMUR BAGHDAD


DINASTI-DINASTI KECIL DI BARAT DAN TIMUR BAGHDAD
BAB 1
PENDAHULUAN
Membandingkan konflik kepentingan dan perang saudara berkepanjangan di Irak paska jatuhnya Rezim Saddam Husein dengan sejarah jatuhnya Baghdad tahun 656 H./1258 M. mengantarkan pada satu kesimpulkan: ternyata konflik Sunni-Syiah di Irak menemukan akar sejarahnya. Konflik besar antar kedua kelompok pernah terjadi juga dulu. Pertanyaannya, kalau dulu pertikaian antar keduanya menjadikan salah satu sebab pendorong hancurnya kekuasan Abasiah, apakah friksi yang terjadi sekarang ini juga akan membuat Irak dibuat hancur juga tanpa kita tahu siapa pemenangnya? Kesimpulan di atas berdasarkan pada data sejarah sebagai berikut:
Sebagai pengantar, sebetulnya, susah untuk menjelaskan bagaimana strategis Kota Baghdad dalam bentangan sejarah peradaban Islam. Pada masa keemasannya terlalu banyak keindahan yang bisa ia banggakan. Ia terlalu "sempurna". Yakut al-Hamawi dalam Mu'jam al-Buldan menyebutnya sebagai Um ad-Dunya dan Sayidah al-Bilad –pusat peradaban dunia-. Saat itu, selain keindahan tata kotanya, Baghdad adalah center of excellence keilmuan dunia. Ulama-ulama dari berbagai disiplin ilmu, pusat-pusat kajian dan penelitian, universitas, kekayaan referensi, semuanya tumplek di Baghdad. Tak heran lebih dari seribu pengarang mencantumkan kalimat al-Bagdadi pada namanya. Mereka adalah orang yang berasal atau menimba ilmu di Baghdad yang kemudian hijrah keluar Baghdad. Adapun ulama-ulama yang tinggal d Baghdad atau bermukim di Baghdad, terlalu sulit untuk dihitung jumlahnya. Namun sejak 656 H. atau 1258 M, bahkan hingga ini, Baghdad seolah tak mau bangun dari tidur panjangnya. Tentara Amerika dan sekutunya kini bercokol di Irak. Warga Irak pun –Suni, Syiah dan Kurdi- asyik bertikai sesamanya. Bagdad di masa kejayaannya adalah kota model bagi peradaban dunia saat itu. Simbol-simbol kemegahan seperti perpustakaan, klinik kesehatan, laboratorium sains, dan berbagai fasilitas publik, menjadi tolok ukur sebuah kota maju di abad pertengahan. Kota-kota lain seperti Khurasan, Isfahan, dan Kairo, berusaha meniru dan membangun simbol-simbol tersebut.             
Kota lain yang berusaha mati-matian untuk menyaingi Baghdad –dalam semua  hal– adalah Cordova, Granada, dan Sevilla, tiga kota penting di Spanyol yang dikuasai oleh pihak Umayah. Setelah digulingkan Abbasiyah, sebagian anggota keluarga Umayah lari ke Spanyol –yang telah takluk di bawah emperium Islam– dan meneruskan dinasti Umayah di sana.
Pada era kejayaan Baghdad hidup manusia-manusia “suci” semacam Rabi’ah Al-Adawiyah, al-Hallaj, Al-Bustami, dan Ibn Arabi (yang terakhir ini lahir di Cordova dan hijrah ke tanah Abbasiyah). Di era itu pulalah para “heretis” jenius Al-Farabi, Al-Razi, dan Ibn Sina, hidup dan mengekspresikan pemikiran-pemikiran filosofis mereka.
Para pemikir dan penulis keagamaan (ulama dan fuqaha) juga hidup dan menelurkan karya-karya jenius mereka pada masa ini. Di atas itu semua, Baghdad juga menelurkan erotisme “kisah seribu satu malam,” harem, dan pabrik-pabrik anggur. Meminjam istilah Ulil Abshar-Abdalla, Islam seperti diperlihatkan Baghdad dapat menampung “energi kesalihan” dan “energi kemaksiatan” sekaligus.
Petaka 656 H.1258 M. ini terjadi, selain karena lemahnya kepemimpinan Khalifah ke-37 –terakhir- dinasti Abasiah, al-Musta\'shim (609-656 H/1212-1258 M.) juga karena ada konspirasi antara salah seorang menteri kepercayaan al-Musta\'shim, Ibn al-Alqami (seorang penganut Syiah Rafidhah) dengan penguasa Tatar, Hulaku.
Maka pada 18 Januari 1258 M. bertepatan dengan 656 H. Khalifah dan seluruh umat Islam harus menanggung derita dan tercabik-cabiknya harga diri. Petaka ini adalah awal kemunduran peradaban umat Islam setelah mengalami masa keemasan berabad-abad. Tak hanya materi yang hilang, tapi jiwa dan kekayaan inteketual pun hilang. Entah kapan lagi kita bisa mengulanginya? Pada hari itu dengan segala keganasan pasukan Tatar yang jumlahnya berlipat-lipat dibandingkan pasukan muslim tak tertahankan lagi menerobos pertahanan kota Baghdad. Ratusan ribu jiwa, laki-laki, perempuan, anak-anak, orang tua habis dibunuh. Atas perintah Hulaku, ratusan ribu manuskrip buku karya ulama Islam yang tersimpan rapi di rak perpustakaan-perpustakaan dibuang ke sungai Dajlah. Para pakar sejarah menceritakan saat itu Dajlah penuh sesak dengan buku-buku, sehingga membentuk jembatan, dan tak heran, kalau kuda pun bisa melewati sungah Dajlah dengan mudah. Air Dajlah berubah jadi hitam oleh tinta. Manuskrip-manuskrip yang merupakan akumulasi peradaban Islam-Arab terdahulu hilang tanpa ampun. Kelompok keilmuan, universitas, masjid-masjid tak ada lagi, hilang ditelan bumi. Baghdad pun jadi kota mati. Hanya bau busuk mayat dan orang depresi berat yang tersisa. Penyakit menular mewabah ke seantero negeri. Negara tetangga – Mesir dan Syiria- hanya bisa meratap, menangis pilu tanpa bisa berbuat.
BAB II
DINASTI-DINASTI KECIL DI BAGIAN BARAT DAN TIMUR BAGHDAD

Menurut para pakar sejarah islam, Daulat Abbasiyah telah berjasa dalam memajukan umat islam. Hal ini ditandai dengan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, peradaban, kesenian dan filsafat. Sekalipun demikian menurut Philips K. Hatti dinasti ini tidak mampu mempertahankan integritas negrinya, karena setelah Khalifah Harun Ar-Rasyid daerah kekuasaan ini mulai goyah baik daerah timur dan barat Baghdad. Hal ini bisa di lihat dengan munculnya banyak dinasti-dinasti kecil di berbagai belahan dunia baik di timur dan barat Baghdad. Di barat Baghdad ada, Dinasti Idrisi di Maroko (172-375 H / 788 M-985 M), Dinasti Aghlabi (184 H-296 H / 800 M-908 M), Dinasti Thulun di Mesir (254 H-292 H / 868 M-967 M), Dinasti Ikhsyidi (323 H- 357 H / 934 M-967 M), Dinasti Hamdaniah (317 H – 399H/929M–1009M). Di timur Baghdad diantaranya: Dinasti Tahiri (200 H-259 H / 820 M-872 M), Dinasti Safari (254 H-289 H / 867 M-903 M), Dinasti Samani (261 H-389 H / 874 M-999 M), dan Dinasti Ghazwani.
Faktor yang mendorong berdirinya dinasti kecil ini yaitu adanya persaingan ajabatan Khalifah di antara keluarga raja dan munculnya sikap Abbasiyah antara keturunan Arab dan Non Arab, tepatnya Arab dan Persia.
Pendapat lainnya bahwa kemungkinan munculnya dinasti kecil ini pada abad ke III Hijrah, disebabkan banyaknya kegoncangan politik, yang timbul dalam dunia islam yang dimanfaatkan oleh keluarga yang sudah mempunyai kekuasaan di daerah[1].
I.             Dinasti di Barat Baghdad
a.   Dinasti Idrisi
Dinasti Idrisi di Maroko (172 H-375 H / 788 M-985 M) Kerajaan ini didirikan oleh Indris bin Abdullah, cucu Hasan putra Ali bin Abi Thalib1). Dengan demikian, dia mempnyai hubungan dengan garis imam-imam Syi’ah. Berkat dukungan yang sangat kuat dari suku Barbar maka dinasti idrisiyah ini lahir dan namanya dinisbahkan dengan mengambil Fez sebagai pusat pemerintahnya.  
Pada masa kekhalifahan bani Abbasiyah dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid, beliau merasa posisinya terancam dengan hadirnya dinasti idrisiyah tersebut maka Harun Ar-Rasyid berencana untuk mengirimkan pasukannya dengan tujuan memeranginya. Namun faktor geografis yang berjauhanmenyebabkan batalnya pengiriman pasukan. Harun Ar-Rasyid memakai alternatif lain sehingga idris meninggal dengan cara diracun, taktik ini disarankan oleh Yahya Bermaki kepada khalifah Harun Ar-Rasyid. Selanjutnya  Idris bin Abdullah (Idris II) menggantikan ayahnya sebagai pemerintah (177 H/793 M). Ketika Idris II wafat, Pemerintahannya diganti oleh Muhammad Al-Muntashir (213 H / 828 M). Pada masa ini, kerajaan Idrisi berpecah-pecah. Akibatnya kerajaan menjadi lemah, terutama selepas Muhammad Al-Muntashir meninggal, pemerintahannya semakin rapuh.
Kerajaan indrisi adalah kerajaan Syiah pertama dalam sejarah. Zaman kerajaan Indrisi (172-314 H/789-926 M) adalah suatu jangka waktu yang cukup lama dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan yang lain. Dalam aspek dakwahnya, Idrisi yang membawa Islam dan mampu meyakinkan penduduk Marocco dan sekitarnya.
b.      Dinasti Aghlabi (184 H-296 H / 800 M-909 M).
Dinasti ini didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab. Beliau adalah anak pegawai Khurasan, tentara bani Abbasiyah. Pada tahun 179 H/795 M, Ibrahim mendapatkan hadiah di daerah Tunisia dari Khalifah Harun Ar-Rasyid dengan tujuan untuk menahan bila idrisiyah melakukan ekspansi ke negri mesir dan syam, dan juga sebagai imbalan kepada jasa-jasanya dan kepatuhannya membayar cukai tahunan[2].
Pada zaman kepeimpinananya Ibrahim berjaya mengadakan perjanjian damai dengan kerajaan Idrisi, menjadikan kota Qairuwan sebagai ibu kota pemerintahan serta membangun Al-Qadim. Ibrahim berjaya memadamkan pertikaian antara Kharijiyah dan barbar.
Dinasti Bani Aghalab di perintah oleh 11 khalifah, antara lain
1. Ibrahim (179 H/795 M)
2. Abdullah I (197 H/812 M)
3. Ziyaadatullah (210 H/817 M)
4. Abu Ilqal Al-Aghlab (223 H/838 M
5. Muhammad I (226 H/841 M
6. Ahmad (242 H/856 M
7. Ziyaadatullah II (248 H/863 M
8. Abu Al-gharaniq Muhammad II (250 H/863 M
9. Ibrahim II (261 H/875 M
10. Abdullah II (289 H/902 M
11. Ziyaadatullah III (290-296 H/903-909 M)
Dinasti Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam konflik berkepanjangan antara Asia dan Erofa dibawah pimpinan ziyadatullah 1, suatu armada bajak laut dikerahkan untuk menggoyang pesisir italia, perancis kemudian ziyadatullah mengirim sebuah ekspedisi untuk merebut sisilia dari bizantium dan berhasil dikuasai pada tahun 902 M. kontribusi terpenting dalam ekspedisi tersebut adalah menyebarnya peradaban islam hingga ke Erofa. Bahkan Renaisans di Italia terjadi karna tranmisi ilmu pengetahuan melalui pulau ini[3]. Dinasti ini juga terkenal di bidang arsitektur, terutama dalam pembangunan mesjid yaitu mesjid Qairawan, dan Qairawan menjadi kota suci keempat setelah Mekah, Madinah, dan Yerussalem.
c.      Dinasti Thuluniyah di Mesir (254 H-292 H / 868 M-901 M)
Kerajaan Tuluni mewakili kerajaan pertama Mesir di Syiah yang memperoleh anatomi dari Baghdad. Ahmad bin Tulun, seorang budak dari Asia Tengah Oleh karena itu, Pada tahun 254 H /868 M, Ibn Tulun dihantar ke Mesir sebagai wakil pemerintahan pada khalifah Al-Makmun. Ahmad Bin Thulun ini di kenal sebagai sosok yang di kenal kegagahan dan keberaniannya, dia juga seorang yang dermawan, Hafiz, ahli di bidang sastra, syariat, dan militer3) sehingga akhirnya menjadi gubernur di wilayah kekuasaan sampai ke Palestina dan Suriah.
Dalam membangun negeri, beliau menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri. Selepas itu ia memper-hatikan juga, di bidang ekonomi. Dalam bidang keamanan, ia membangun angkatan perang, dengan kekuatan tentaranya, memperluas wilayahnya hingga ke Syam[4].
Selepas Ibn Tulun (279 H/884 M), kepemimpinan diteruskan oleh Khumarawaih (270 H/884 M), Jaisy (282 H /896 M), Harun (283 H/896 M) dan Syaiban (292 H/905 M)
d.       Dinasti Ikhsyidi (323 H- 357 H / 934 M-967 M)
Pada tahun 232 H/935 M, panglima Turki bernama Muhammad bin Tughj dilantik sebagai pemerintah di Mesir. Khalifah Abbasiyah memberinya gelar Ikhsidi sebagai mengikhtiraf kedudukan yang kuat.
Strategi yang pertama ikhsidi adalah mengkokohkan angkatan perang. Beliau diberi tanggung jawab mentadbir wilayah Syam. Ikhsidi meninggal dunia pada tahun 936 M.
Pemerintahannya di tumbangkan oleh Jauhar Siqli dari kerajaan Fatimiah. Pada tahun 358 H/969 M, kerajaan Ikhsidi berakhir .
Sejarah sumbangan kerajaan ini , ilmu pengetahuan dan budaya, lahirlah ilmuan seperti abu Ishaq al-Mawazi, Hasan ibn Rasyid al-Mishrivdll. Ikhsidi juga mewariskan bangunan megah seperti Istana al-Mukhtar di Raudah dan Taman Bustan al-Kafuri dll.
e.       Dinasti Hamdaniah (317 H – 399 H / 929 M – 1009 M)
Ketika kerajaan Ikhsidi berkuasa di Utara Mesir, muncul kerajaan lain yaitu kerajaan Hamdani yang berpaham Syiah. Nama kerajaan berasal dari nama pendirinya yaitu, Hamdan ibn Hamdun, yang berasal dari suku arab Taghlib.
Kerajaan ini terbagi menjadi dua pihak, Mosul dan Halb. Pihak mosul dengan para pemerintahannya :
1.      Abu al-Hayja Abdullah (293 H/905 M)
2.      Nashir al-Daulah al-Hasan (17 H/929 M)
3.      Uddad al-daulah Abu taghlib (358 H/ 969 M)
4.       Ibrahim dan Al-Husein (379-389 H/981-991 M)
Selepas tahun 356 H dan 358 H, kerajaan Hamdani merosot dari tangan-tangan penggantinya. Pada umumnya mereka saling berebut kekuasaan antara keluarga sendiri. Akibatnya mereka jatuh ketangan Kerajaan Fatamiah.
Kerajaan Hamdani terkenal sebagai pelindung sastera arab terutama Saif al-Daulah. Beberapa tokoh ternama seperti al-Farabi, Al-Isfahani dan Abu al-Firus. Kerajaan Hamdani adalah benteng kekuatan dari pada serangan Rom ke wilayah kekuasaan islam[5].
II.      Dinasti di Timur Baghdad
a. Dinasti Tahiriyah (200 H-259 H / 820 M-872 M)
Dinasti yang pertama mendirikan sebuah negara semi indepeden disebelah timur Baghdad adalah orang yang pernah dipercaya oleh Al-Ma’mun untuk menduduki jabatan jendral, yakni Thahir bin Al-Husayn dari Khurassan, yang secara gemilang berhasil memimpin balatentara untuk melawan Al-Amin. Thahir adalah keturunan budak Persia, pada tahun 820 M diangkat oleh Al-Mamun sebagai gubernur atas semua kawasan di sebelah Timur Baghdad dengan pusat kekuasaannya di Khurassan. Dinasti ini mempertahankan hubungan baik dan setia kepada pemerintahan Baghdad, secara formal para penerus Thohir juga adalah pengikut khalifah Abbasiyah , mereka memperluas wilayah kekuasaannya hingga perbatasan India[6].
Mereka memindahkan pusat pemerintahan ke Naisabur, para ahli sejarah mengakui bahwa dinasti ini telah menyumbang dalam kemajuan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan dunia Islam dan disitu mereka berkuasa sampai tahun 872 H, sebelum akhirnya digantikan oleh Dinasti Saffarriyah[7].
b. Dinasti Saffariyah (254 H-289 H / 867 M-903 M)
Philip K. Hitti mengatakan bahwa Dinasti Saffariyah, yang bermula di Sijistan dan berkuasa di Persia, didirikan oleh Yakub bin al Laits al shaffar. Al saffar menjadikan pengrajin tembaga sebagai pekerjaannya dan merampok sebagai kegemarannya. Perilakunya yang sopan dan efesien sebagai seorang kepala gerombolan perampok telah menarik perhatian gubernur sijistan, yang kelak memberinya kepercayaan untuk memimpin balatentaranya. Al Saffar akhirnya menggantikan gubernur itu dan berhasil memperluas wilayah kekuasaan hampir ke seluruh Persia dan kawasan pinggiran India, bahkan mengancam kekuasaan Baghdad yang berada di bawah pimpinan Khalifah al-Mu’tamid.
c. Dinasti Samaniyah (261 H-389 H / 874 M-999 M)
Berdirinya dinasti ini bermula dari pengangkatan empat orang cucu saman oleh Khalifah Al-Ma’mun menjadi gubernur di daerah Samarkand. Yang ada di bawah pemerintahan Thahiriyah pada waktu itu. Keluarga Samaniyah dari Transoxiana dan Persia adalah orang-orang keturunan saman, yaitu seorang bangsawan dari Balkh. Pendiri dinasti ini adalah Nashr bin Ahmad, cucu dari saman, tetapi figur yang menegakkan kekuasaan dinasti ini adalah saudara Nashr, yaitu Ismail yang pada tahun 900 H, berhasil merebut Khurassan dari genggaman dinasti Saffarriyah. Ketika berada dibawah kepemimpinan Nashr II ( Ibn Ahmad ) yang berada di garis keturunan ke 4 Sammaniyah yang pada awalnya merupakan kelompok para gubernur muslim dibawah kekuasaan Dinasti Tahirriyah, berhasil memperluas kerajaan hingga Sijistan, Karman, Jurjan, Rayyi, dan Tabaristan[8].
Berdirinya dinasti Samaniyah ini  di dorong pula oleh kecenderungan masyarakat Iran yang ingin memerdekakan diri terlepas dari baghdad. Dimata Baghdad, Samaniyah adalah para amlr (gubernur) atau bahkan amil, tetapi di mata rakyat, kekuasaan mereka tak terbantahkan. Pada masa ini pula, ilmuanwan muslim yang termansyur, al-razi mempersembahkan karya utamanya dalam dunia kedokteran, berjudul al-Mansyur. Pada masa ini pula, pada periode Nuh II yang mengajukan pengembangan ilmu pengetahuan, Ibnu Sina muda tinggal di Bukhara dan memperoleh mengakses buku-buku. Disanalah ia memperoleh lmu-ilmu yang tak ada habisnya. Sejak masa media ekspresi sastera, dan berkat para penulis itulah sastra muslim Persia yang cenderung mulai berkembang, bahkan Ibnu sina pernah menjabat sebagai mentri.
Kendati merupakan dinasti yang paling cerah, Samaniyah tidak terlepas dari kekurangan.
d. Dinasti ghazwani
Salah satu wilayah samaniyah, sebelah selatan oxus, perlahan-lahan di caplok oleh Dinasti Ghaznawi, yang berkuasa di bawah pimpinan salah satu budak Turki.
Kebangkitan Dinasti Ghaznawi mempresentasikan kemenangan pertama Turki dalam persaingan dengan Iran untuk mencapai kekuasaan dalam islam. Meski dengan demikian, kekuasaan Ghanawi sama sekalli tidak berbeda dengan kekuasaan Samaniyyah atau Saffariyah. Ghazawi tidak ditopang dengan angkatan bersenjata, maka semuanya segara menemui kehancuran. wilayah-wilayah kekuasaan disebelah timur berangsur-angsur memisahkan diri dan muncullah dinasti-dinasti muslim independen, di utara dan barat seperti Dinasti Khan dari Thurkistan dan Saljuk dari Persia[9].

BAB III
KESIMPULAN
Setelah mencermati uraian di atas, terdapat beberapa latar sosial politik munculnya dinasti-dinasti kecil di barat dan timur Baghdad yaitu:
1.      Karena kebijakan penguasa Bani Abbasiyah yang lebih menitik beratkan kemajuan peradaban dibanding dengan mengadakan ekspansi dan politisasi, sehingga memberikan peluang terhadap wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan untuk memisahkan diri dari pemerinah Abbasiyah.
2.      Adanya pemberian hak otonomnya, sehingga tidak terkontrol karena yang memberi hak berada jauh dari pemerintahan pusat, serta terlalu luas kekuasaan Abbasiyah.
3.      Dilihat dari perkembangan sosial ekonomi, munculnya dinasti kecil ini memunculkan kota-kota pusat kegiatan ekonomi, seperti Samarkand atau Bukhara yang menjadi kota perdagangan utama.
4.      Jika pada masa dinasti Umayah wilayah kekuasaan masih merupakan suatu kesatuan yang utuh, yakni wilayah yang membentang dari Spanyol di Erofa, Afrika utara hingga ke timur di  India, sedangkan masa dinasti Abbasiyah mulai tumbuh dinasti saingan yang melepaskan diri dari kekuasaan Khalifah yaitu dinasti Baghdad.
5.      Tumbuhnya dinasti ini tidak terlepas dari persaingan antara bani Hasyim dan Bani Ummayah serta munculnya Bani Ali, yang merupakan pecahan dari Bani Hasyim.
6.      Peradaban di baghdad pada abad 20  kembali muncul sebagai pusat peradaban Arab. Dan itu berkat upaya program pembangunan populis Presiden Saddam Hussein, yang sudah berkuasa sejak tahun 1968, kendati baru tahun 1979 ia resmi menjadi Presiden Irak. Di bawah Saddam, Irak mengalami stabilitas politik yang belum pernah dialaminya sejak merdeka tahun 1932. Dengan kekayaan minyak, terutama setelah oil boom menyusul Perang Arab-Israel 1973, Saddam memanfaatkannya untuk membangun negerinya. Pesatnya pembangunan infrastruktur negeri secara dramatis mentransformasikan Irak, terutama dalam segi standar hidup penduduk. Rumah sakit, sekolah, sistem pertanian, sistem komunikasi, instalasi air bersih, dan lain-lain, yang serba modern, sehingga semua kemewahan yang di miliki Irak sekarang secara tidak langsung mempengaruhi gaya hidup masyarakat Irak yang kembali saling berebut kekuasaan, terlena dalam kemoderenan seperti yang pernah di alami oleh nenek moyang mereka. Kenyataannya walaupun sekarang irak sedang mengalami kembali peperangan, bahkan sampai merenggut nyawa presidennya karena ambisi memperluas kekuasaan sampai teluk persia, di temukan fakta-fakta bahwa di tengah masa pemulihan ini klub-klub di irak mulai menjamur, lampu-lampu saling menyala di tengah pojok kota, minum-minuman keras, dan prostitusi saling menampakan diri. Entahlah apa yang ada dalam benak warga baghdad, pelarian dari peradaban masa lalukah  yang selalu mengalami pasang surut atau sudah menjadi tabiat islam padang pasir  yang selalu lupa akan kepahitan yang pernah di alami. Wallahu alam
Lampiran (PETA, PUSAT PERADABAN)
Sumber :


                                                                                          









                                                                                                    












DAFTAR PUSTAKA
Abul a ‘la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan : Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, (Bandung, Mizan, 1998)
Badri Yatim, Dr., MA., Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2006)
Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran (Bandung, Mizan,
1995)
Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam,(Jakarta : Rajawali Pers 1999)
Jaih Mubarok, Dr., M.Ag., Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, Cet. 1, 2004)
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, (Gramedia, Jakarta,1985)
Luthfi Assyaukanie (ed), Islam Bagdhad, (Indonesia Kita, 2005)
Nurul Aen,Prof,. MA,.Sejarah Peradaban Islam (Pustaka Setia, Bandung,2008)
Philip K. Hitti, History of The Arabs (London : Mac Millan, 1970)








DINASTI-DINASTI KECIL DI BAGIAN BARAT DAN TIMUR BAGHDAD

Makalah
Diajukan pada Mata kuliah Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pembimbing  : Dr.H. Wildan Yahya, M.Pd.


Program Studi  : Pendidikan Islam
Konsentrasi   : MPI

Disusun Oleh:
ANITA RAMDHANI




PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2010/2011


[1] Badri Yatim.Sejarah Peradaban Islam.hlm.156
[2] Ahmad Syalabi.Sejarah Kebudayaan Islam, hlm 165
[3] Ibid,.hlm 166
[4] Philps K.Hitti. hlm.451
[5] Hasan Ibrahim.Hal 217
[6] Jamal Ad-Din-Suru.hlm.69
[7] Philips.K.Hitti.hlm 463
[8] Ibid,hlm 463
[9] Hasan Ibrahim.hlm.217

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

semoga bermanfaat.......